Reporter: Diansyah | Editor: Bambang Irawan
NUNUKAN - Puluhan atau bahkan ratusan buaya di Nunukan, kini seakan menjadi ancaman bagi warga di sepanjang pesisir sungai yang menjadi habitat predator buas itu.
Sepanjang 2016 – 2022 ini sudah ada puluhan korban yang menjadi keganasan buaya jenis air tawar tersebut.
Pertanyaan yang muncul? Apakah benar fenomena ini dikarenakan habitat buaya sudah mulai terganggu atau mungkin ketersediaan makanan para buaya ini sudah menipis?
Kasus tewasnya dua orang di wilayah Seimanggaris dan satu satu orang yang hingga saat ini masih dalam pencarian yang diduga terkaman buaya menyisakan sedikit tanda tanya.
Fenomena kasus buaya menyerang manusia ini bukan kali pertama terjadi di Nunukan. Jika merunut kembali pada tahun 2016, ada kejadian rentetan demi rentetan serangan buaya itu terjadi di wilayah tiga daratan Kalimantan.
Pewarta mencatat ada tiga kasus setidaknya pernah terjadi pada 2016, sebagian besar korbannya meninggal dunia dan ditemukan dalam kondisi mengenaskan.
Berpindah pada tahun 2017, warga Nunukan dihebohkan seorang warga Sebuku kehilangan tangan kirinya setelah diterkam dan bertarung melawan buaya berukuran sekitar tujuh meter.
Korban Tahir (40) saat itu dapat selamat setelah melukai mata dari buaya ganas tersebut, meski tangan kirinya tak dapat tertolong. Ia pun dilarikan ke RSUD Malinau untuk mendapatkan penanganan intensif.
Beralih ke tahun 2018, setidaknya ada dua kasus yang sempat menghebohkan warga Nunukan Selatan. Pada Juni 2018, seorang petani rumput laut, Tunding (35) harus bertarung melawan buaya berukuran sekitar tiga meter saat akan membersihkan geladak rumput laut miliknya. Meski nyawanya tertolong, luka sobekan akibat gigi buaya harus diterimanya di tangan bagian kanan dan areal wajahnya.
Selanjutnya di Desember tahun yang sama, Heri (20) warga Desa Pembeliangan, Kecamatan Sebuku ditemukan tewas usai diseret buaya berukuran tujuh meter. Korban saat itu sempat berontak dan melawan. Namun usahanya itu tak membuahkan hasil akibat buaya menerkam tepat di bagian perut korban.
Asdar, saksi mata yang juga tak lain saudara korban, menyaksikan kakaknya sempat tiga kali muncul ke permukaan sebelum akhirnya hilang dan ditemukan berapa hari kemudian dalam keadaan meninggal dunia.
Di awal tahun 2020 atau tepatnya 1 Januari 2020, warga kembali dikagetkan atas hilangnya seorang warga di Desa Tepian, Kec Sembakung atas nama Mansyah (47).
Korban diterkam saat memasang pukat udang di sekitar sungai tepian. Nahas menimpa korban hingga kini tak kunjung ditemukan. Bahkan di tahun yang sama warga Nunukan sempat dihebohkan penampakan buaya berukuran raksasa sekitar 15 meter dan terdeteksi di google maps kala itu.
Berpindah pada 2021 lalu, seorang bocah di Nunukan Selatan atas nama Muhammad Ilham (10) juga tewas akibat terkaman buaya saat membersihkan tali rumput laut, buaya yang akrab dengan masyarakat dengab sebutan si Sumbing itu juga harus dieksekusi oleh warga akibat meninggalnya bocah malang tersebut.
Pada Juli 2022 ini saja, sudah ada dua korban yang ditemukan tewas dan harus dievakuasi melalui perut buaya berukuran besar. Kini, seorang warga Sebakis bernama La Upa (52) hingga hari ketiga ini proses pencarian masih terus dilakukan.
Menilik rentetan demi rentetan atas kejadian itu. Membuat media ini pun bertanya-tanya, apa sebenarnya menjadi penyebab fenomena keluarnya para buaya ini dari habitatnya?
Pewarta pun mencoba mendatangi salah seorang penggiat lingkungan dari World Wide Fund for Nature (WWF) Suparjono. Menurutnya, WWF sejauh ini bukanlah lembaga yang paham dan mengerti terkait apa yang sebenarnya menjadi fenomena keganasan tersebut.
“Jujur, kami sebenarnya kurang mengikuti apa yang menjadi penyebab keganasan buaya itu. Ada lembaga yang sebenarnya paling bertanggungjawab dan mengerti persoalan itu,” ujar Suparjono kala dikonfirmasi media ini.
Namun, sekilas apa yang terjadi saat ini, diduga kuat lantaran habitat pemangsa daging ini sudah terancam. Kendati begitu, untuk lebih jelasnya ia meminta pewarta untuk menghubungi Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kaltim.
Pewarta pun kemudian menghubungi salah seorang pejabat di BKSDA Kaltim, Dheny Mardiono.
Dari penjelasan Kepala Seksi Konservasi Wilayah I Berau, BKSDA Kaltim ini mengatakan pihaknya telah melihat dan mengikuti kasus tewasnya dua orang warga di Kecamatan Seimanggaris. Dirinya pun mengucapkan bela sungkawa atas meninggalnya seluruh korban.
Terhadap fenomena tersebut, Dheny, sapaan akrabnya menjelaskan, terkait dugaan apakah habitat asli para buaya ini terganggu atau meningkatnya jumlah populasi satwa tersebut, diakui Dheny, BKSDA tentu tidak dapat disimpulkan secara detail tanpa adanya penelitian langsung.
Menurut Dheny, kasus bergesernya buaya dari lokasi yang seharusnya aman bagi satwa ini ke lokasi sekitar pemukiman warga, tentu bertolak belakang dengan kebiasaan sang predator tersebut.
“Logikanya buaya–buaya ini kalau memang terganggu atau tadinya tidak ada aktivitas manusia, dia akan mencari lokasi baru yang lebih aman. Namun kalau sebaliknya, maka ini yang perlu kita teliti. Ada fenomena apa sebenarnya?” jelas Dheny.
Terkait apakah kemungkinan ketersediaan makanan bagi si buaya menipis atau lain sebagainya, Dheny juga tak dapat menjawab secara pasti, lantaran belum adanya penelitian ke arah tersebut. Namun menurut dugaanya, jika melihat dari siklus makanan predator dimaksud, buaya berada pada siklus puncak.
Artinya, saat ini tidak ada predator lainnya yang dapat memangsa buaya tersebut. Tentu ini kuat dugaan adanya peningkatan populasi buaya itu sendiri.
Menurunnya populasi buaya hanya dapat terjadi, jika buaya tersebut menjadi incaran pemburu satwa liar untuk diambil kulit atau organ lainnya.
Hanya saja, ini tidak lagi terjadi karena permintaan kulit buaya di dunia sudah tidak sepesat dulu, atau bahkan cenderung tidak ada permintaan. Kedua, faktor lainnya yakni menuanya umur buaya atau sakit lalu kemudian mati.
Ketiga, adalah ancaman kanibal sesama predator tersebut. Hanya saja kata Dheny, hal itu sangat minim kasus.
“Seharusnya untuk satwa puncak seperti buaya ini memang dikontrol. Contoh di sepanjang sungai A dengan jarak 20 kilometer ada 100 buaya, tentu ini yang kita kontrol, apakah kemudian ternyata muncul 200 tentu harus ada antisipasi tambahan juga dari instansi terkait,” ujarnya.
Saat ditanya, apakah akan ada penelitian, mengingat seringnya kasus gesekan antara buaya dan manusia di Nunukan? Dheny mengungkapkan hal itu tentunya sudah diusulkan, namun kembali melihat postur anggaran nantinya. Sebab, sejauh ini pihaknya mengamini jika belum adanya penilitian soal keberadaan dan jumlah populasi satwa liar di Kalimantan Utara atau lebih tepatnya di Kabupetan Nunukan.
Kendati begitu, langkah pertama yang akan dilakukan oleh BKSDA yakni memasang plang larangan bagi warga agar menjauhi dan tidak beraktivitas di sepanjang sungai yang kerap tampak kemunculan hewan-hewan predator tersebut. Selanjutnya, bagi masyarakat yang ingin tetap beraktivitas entah itu sebagai jalur transportasi atau penyeberangan, diminta untuk lebih berhati-hati.
Jika nantinya usulan penelitian tersebut disetujui oleh Pemerintah Pusat dalam hal ini Kementerian Lingkungan hidup dan Kehutanan (KLHK) RI, lanjut Dheny maka pihaknya dapat melihat langkah apa yang dapat dilakukan oleh BKSDA.
Dijelaskan Dheny, ada tiga sifat bawaan predator liar tersebut yang selama ini diketahui oleh BKSDA yakni, hewan ini tergolong hewan penyerang, jika terdesak maka naluri memangsanya atau naluri melukai lawannya. Dari sifat ini, buaya tidak akan hanya menyasar sesamanya atau hewan lain bahkan manusia sekalipun.
"Kedua ada pembawaan buaya itu yang sifatnya hanya menyerang. Itu sudah kita temui di beberapa kasus seperti di lokasi penangkaran hewan atau kebun binatang. Dari awal memang buaya ini sifatnya hanya menyerang terus bahkan jika dikumpulkan dengan buaya lainnya," ungkap Dheny.
Untuk alasan ketiga, lanjut Dheny, kemungkinan terbesar adalah karena sumber pakan habitat hewan ini menipis atau tidak ada. Maka hewan-hewan ini akan berpindah dari lokasi yang sumber pakannya sedikit ke sumber pakan yang berlimpah. Ketika berpindah ini, dengan pembawaan sifat yang pertama, maka dalam kondisi kaget atau terdesak dengan hadirnya aktivitas lain maka predator ini akan memangsa dan menyerang apapun yang ada disekitarnya.
Sementara saat ditanya, apakah ada kemungkinan sifat dendam dari buaya-buaya tersebut ketika melihat sesamanya dieksekusi oleh manusia kemudian akhirnya membalas dengan menerkam manusia lainnya.
Dijelaskan Dheny, sejauh ini pihaknya belum membaca atau mempelajari satupun penelitian terkait sifat hewan tersebut, apakah predator dimaksud memiliki sifat dendam atau tidak, sehingga dia enggan berspekulasi lebih jauh.
Terpisah, pemerhati lingkungan dan satwa liar ikut mengomentari terkait fenomena tersebut. Saat ditanya terkait apakah ada kemungkinan terganggunya habitat buaya akibat aktivitas pembukaan lahan maupun kegiatan perusahaan, baik perkebunan atau pertambangan?
Aktivis di Suara Pulau Irvan Van Gobel mengatakan, jika kegiatan itu benar terjadi, maka tidak menutup kemungkinan inilah yang patut diduga menjadi penyebab utama, mengapa kawanan buaya itu mulai memasuki kawasan pemukiman warga.
“Kasus ini bisa dikatakan, bukan baru kali ini terjadi. Sejumlah kasus di Kalimantan atau di daerah lain Indonesia yang kami pelajari hampir sebagian besar habitat buaya ini terganggu terhadap aktivitas pembukaan lahan perusahaan dan sebagainya,” ujar Irvan.
Dilanjutkan Irvan, penyebab lainnya yang kerap menjadi alasan mengapa kawanan buaya ini berada di kawasan pemukiman warga, yakni menipisnya sumber makanan hewan pemakan daging itu. Jika hal itu terjadi, jelas Irvan, ini menjadi ancaman yang begitu serius. Karena dalam kondisi lapar, para predator ini bisa saja memasuki kawasan permukiman warga.
Ia juga berpendapat jika hal itu seyogyanya dapat diketahui dengan melihat kebiasaan satwa tersebut dan dilakukan penelitian oleh instansi terkait dalam hal ini BKSDA, untuk konservasi atau upaya antisipasi.
Bila tidak segera diantisipasi, kemungkinan besar jatuhnya korban akan terus bertambah. Berbagai langkah dapat dilakukan masyarakat maupun pemerintah. Baik melakukan aksi penangkaran maupun aksi eksploitasi sebagai sumber ekonomi warga.
Kendati begitu, sebelum melakukan aksi tersebut masyarakat terlebih dahulu harus mengetahui, apakah jenis buaya dimaksud dilindungi atau tidak. Apabila dilindungi, hal yang paling memungkinkan dilakukan adalah melakukan penakaran. Jika sebaliknya, masyarakat dapat melakukan eksploitasi dengan menangkap dan menjual kulit buaya dimaksud.
“Tapi kita harus tahu juga, apakah populasi mereka ini memang sudah terlalu banyak atau tidak? Kalau memang banyak, pemerintah tidak akan melarang bagi warga yang akan melakukan eksploitasi. Selama itu bukan hewan yang dilindungi loh yah,” jelas Irvan.
Populasi buaya di sepanjang Sungai Tenggaruk dan Sungai Salongan di Kecamatan Sebuku yang diperkirakan mencapai ratusan ekor, kini menjadi ancaman keselamatan bagi warga di daerah tersebut khususnya bagi mereka yang bermukim di bibir sungai.
Bukan hanya di Sebuku, ancaman itu juga kini menjadi kegelisahan bagi warga di Nunukan yang mayoritas beraktivitas di laut maupun sungai.