Logo
Pusaran Dewan Pers
Iklan

FJB Gelar Seminar Jurnalis, Angkat Tema Jurnalisme Data dan “Dosa-dosa” Media

Sesi foto bersama sebelum acara dimulai (Foto: Istimewa)

BERITA TERKAIT

    Kalimantan Timur

    FJB Gelar Seminar Jurnalis, Angkat Tema Jurnalisme Data dan “Dosa-dosa” Media

    PusaranMedia.com

    Sesi foto bersama sebelum acara dimulai (Foto: Istimewa)

    FJB Gelar Seminar Jurnalis, Angkat Tema Jurnalisme Data dan “Dosa-dosa” Media

    Sesi foto bersama sebelum acara dimulai (Foto: Istimewa)

    Reporter: Abdi | Editor: Buniyamin

    BONTANG - Tidak sedikit media dan jurnalis yang membuat kesalahan ketika melakukan peliputan, terutama saat mengangkat soal isu perempuan dan anak. 

    Media sebagai penyampai informasi ke masyarakat harusnya membangun masyarakat inklusif, bukan menggiring stigma negatif terhadap kelompok rentan.

    Ini disampaikan dalam seminar yang digelar  Forum Jurnalis Bontang (FJB) dengan tema Jurnalis Data dan Dosa-dosa media, Kamis (10/11/2022).

    Turut hadir sebagai pemateri Mantan Ketua Dewan Pers 2016-2019 Yosep Adi Prasetyo dan Direktur Eksekutif Remotivi Yovantra Arief.

    Ketua FJB, Edwin Agustyan mengatakan alasan mengangkat tema ini untuk mengingatkan para jurnalis dan media untuk tidak anti kritik.

    Jika memang terjadi kesalahan dalam melakukan peliputan dan penerbitan dalam sebuah berita maka harus dengan besar hati mengakui.  "Sebelum mengkritik, kita juga sebagai jurnalis harus siap dikritik. Semoga dengan acara ini kita bisa berbenah diri menjadi lebih baik," kata Edwin.

    Ketua Dewan Pers periode 2016-2019, Yosep Adi Prasetyo menyampaikan menjadi seorang jurnalis tidak hanya sebatas wawancara semata. Tapi harus melakukan sebuah riset sehingga berita yang diolah menjadi kaya akan data 

    "Inti jurnalis dari seorang jurnalis itu cuma tiga. Yakni verifikasi, konfirmasi dan klarifikasi (VKK)," tegasnya. 

    Apalagi di tengah menjamurnya media online saat ini, wartawan sering melakukan peliputan tanpa didasari verifikasi dan data yang tepat atau biasa disebut liputan mencecap.

    Padahal cara peliputan dan pemberitaan seperti itu, kata Stanley-sapaannya pada akhir tahun 90-an hingga awal tahun 2000-an sudah mulai ditinggalkan.

    Tidak dipungkiri, dengan model peliputan singkat, tidak utuh dan terpecah publik sudah jenuh. Oleh karena itu, jurnalis mesti melangkah lebih jauh dengan menyuguhkan pemberitaan yang dalam dan bermakna, melalui jurnalisme data yang memikat. 

    Jadi, jurnalisme data memberikan banyak manfaat. Bukan saja membuat berita lebih utuh dan memperjelas maksud. Ini juga bakal membuat kerja jurnalis lebih efisien sebab data-data yang berserak dapat dikumpul menjadi satu dan dapat menekan berita bohong (hoax). 

    "Kita bisa melihat, media yang menulis berita pendek-pendek pun secara bisnis mulai turun. Sementara yang mendalam malah naik. Karena publik jenuh dengan berita pendek, tidak memberi makna dan membingungkan publik," sebutnya. 

    Selain membahas soal jurnalisme data, Stanley juga menyentil soal penyelesaian sengketa pers. Dia menegaskan sengketa pemberitaan yang sesuai dengan kaidah jurnalistik tidak bisa masuk ranah pidana, tapi harus melalui Dewan Pers. 

    "Wartawan itu orang yang menjalankan amanat Undang- undang. Tidak boleh dipidana selama kerja jurnalisnya sesuai kode etik. Orang yang bisa menafsirkan kerja jurnalis itu sudah sesuai etik atau tidak itu hanya Dewan Pers. Jadi tidak bisa ditafsirkan sendiri," tegasnya.

    Ini menjadi persoalan lantaran banyak jurnalis yang dipolisikan ketika menjalankan tugas-tugas jurnalistiknya. Semakin problematik sebab tak semua anggota kepolisian paham soal keberadaan MoU antara Polisi dan Dewan Pers untuk mencegah kriminalisasi terhadap jurnalis. Ia kemudian mengimbau bila terjadi sengketa berita yang dilaporkan ke polisi, maka jurnalis maupun perusahaan media agar bisa bersurat ke Dewan Pers.

    "Laporkan saja ke Dewan Pers, nanti pasti dipantau," tandasnya.

    Direktur Eksekutif Remotivi Yovantra Arief menjelaskan ada empat kesalahan media kala meliput isu anak dan perempuan. "Dosa-dosa" ini, yakni melakukan mengobjektifikasi, stereotyping atau pelabelan negatif, kekerasan ganda, beserta pengungkapan identitas anak dan korban.

    Ini justru membuat media seolah melanggengkan stigmatisasi dan peminggiran terhadap perempuan dan anak. 

    Pria yang akrab disapa Yoyon ini menjelaskan, sebenarnya media mulai memperbaiki kualitas pemberitaannya untuk isu-isu lain.

    Misalnya, tidak menggunakan gambar sadistis ketika memberitakan soal kecelakaan. Namun untuk isu perempuan dan anak, media seolah tidak belajar. Pola kesalahannya pun tampak sama.

    "Untuk mewujudkan masyarakat inklusif, diperlukan ekosistem media yang peka terhadap kelompok terpinggirkan. Kepekaan ini perlu mesti terjadi di seluruh level; mulai manajemen media, ruang redaksi, sampai individu jurnalis. Namun, dalam praktiknya media justru kerap melanggengkan stigma dan peminggiran kelompok rentan," kata dia. 

    Dia mencontohkan, ketika seringnya media mengeksploitasi bagian tubuh korban yang umumnya perempuan, dalam berita pemerkosaan.

    Seharusnya media mengedukasi publik untuk tidak melakukan pemerkosaan, bukannya menyalahkan korban atas tubuhnya.

    Belum lagi ketika media menggunakan diksi atau metafora yang cabul dan merendahkan. Seperti "digagahi" atau "digenjot".  Akibat dari stereotip dan objektifikasi itu, media seolah "mewajarkan" tindakan pemerkosaan itu.

    "Ini dosa yang paling sering dilakukan media. Polanya selalu berulang, berputar di sini. Media seolah tidak belajar dari kesalahannya yang terdahulu. Akibatnya muncul dosa ke tiga media, yaitu kekerasan ganda terhadap korban. Pemberitaan media malah semakin memojokkan korban sebagai pihak yang bersalah," ungkapnya. 

    Ia menegaskan anak dan perempuan  merupakan kelompok yang rentan mengalami kekerasan. Dalam kasus anak dan remaja menjadi pelaku pun, media perlu berhati-hati dalam pemberitaannya agar tidak mengungkap identitas anak, baik melalui foto, nama orang terdekat, atau alamat rumah. 

    "Kenapa ini harus dilakukan, karena media mesti melindungi anak dan korban, serta keluarga, dari stigma dan trauma. Jangan sampai karena pemberitaan anak yang bermasalah itu, anak tidak punya masa depan," ujar pria berkacamata ini. 

    Dirinya mendorong agar media fokus pada akar persoalan alih-alih pada remah-remah yang ada di sekitar persoalan. Media mesti mendorong publik untuk merasionalisasi akar persoalan. Bukannya menulis serampangan dan tanpa etika hanya demi klik dan views. 

    Dia menawarkan empat model pemberitaan guna mendorong pemberitaan anak dan perempuan yang lebih jernih dan mengedukasi publik. Pertama, berorientasi pada korban. Media perlu berupaya mengangkat suara-suara mereka yang lemah dan dilemahkan secara sosial, dengan orientasi menciptakan sistem, kebijakan, dan implementasi yang tepat guna. Bukan eksploitasi penderitaan warga terpinggirkan. Kedua, mendorong akuntabilitas publik. 

    Mendorong literasi publik sangat dibutuhkan untuk membantu publik membuat keputusan rasional berdasarkan informasi yang akurat serta pemahaman yang baik mengenai akar persoalan. Keempat, menginspirasi gerakan perubahan.