Logo
Pusaran Dewan Pers
Iklan

Lembaga Adat Besar Dayak Tenggalan Unjuk Rasa di DPRD Tuntut Revisi Perda Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat 

Unjuk rasa puluhan masyarakat adat Dayak Tenggalan di Kantor DPRD Nunukan. (Foto: Diansyah/Pusaranmedia.com)

BERITA TERKAIT

    Kalimantan Utara

    Lembaga Adat Besar Dayak Tenggalan Unjuk Rasa di DPRD Tuntut Revisi Perda Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat 

    PusaranMedia.com

    Unjuk rasa puluhan masyarakat adat Dayak Tenggalan di Kantor DPRD Nunukan. (Foto: Diansyah/Pusaranmedia.com)

    Lembaga Adat Besar Dayak Tenggalan Unjuk Rasa di DPRD Tuntut Revisi Perda Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat 

    Unjuk rasa puluhan masyarakat adat Dayak Tenggalan di Kantor DPRD Nunukan. (Foto: Diansyah/Pusaranmedia.com)

    Reporter: Diansyah | Editor: Bambang Irawan

    NUNUKAN - Puluhan perwakilan dari Lembaga Adat Besar Dayak Tenggalan menyambangi gedung DPRD Nunukan. Kedatangan rombongan pengunjuk rasa ini dalam rangka menyampaikan sejumlah tuntutan kepada legislatif di Nunukan.

    Perwakilan Dayak Tenggalan Nunukan, Paris dalam orasinya mempertanyakan alasan tim kajian DPRD Nunukan yang tidak memasukkan Dayak Tenggalan pada Peraturan Daerah (Perda) Nomor 16/2018 tentang pemberdayaan hukum adat sebab, pada pasal 16 tidak tercantum Dayak Tenggalan. 

    "Kami meminta tim kajian memberikan penjelasan yang membuat Perda. Apa alasan DPRD tidak mengakomodir," tanya Paris disambut gemuruh peserta aksi di halaman kantor DPRD Nunukan, Senin (6/3/2023). 

    Dijelaskan Paris, keberadaan Dayak Tenggalan telah ada sejak Indonesia belum merdeka. Ini dibuktikan dengan bahasa yang dimiliki, budaya hingga wilayah. Sehingga, baginya tidak ada alasan untuk tidak memasukkan Dayak Tenggalan pada Perda 16/2018 tersebut.

    "Sebelum Indonesia merdeka Suku ini sudah ada. Kami punya bahasa, kebudayaan juga kami miliki. Kemudian wilayah juga ada, kenapa keberadaan kami tidak diakui," jelasnya. 

    Keberadaan Perda tersebut tentu mengedepankan asas keadilan. Lalu bagaimana jika ada suku yang tidak diakomodir pada Perda tersebut. Apakah ini benar keadilan? 

    "Saya pikir tidak. Karena masih ada kelompok besar, etis besar yang tidak diakui keberadaannya. Tentunya ini bertentangan dengan keadilan," jelasnya. 

    Ia menegaskan, Pemkab Nunukan telah berjanji untuk melengkapi rancangan revisi Perda 18/2018. Setelah itu, Pemkab Nunukan segera menyerahkan usulan revisi ke DPRD Nunukan. 

    "Karena itu kami meminta waktu yang sama. Selama satu minggu. Pemkab Nunukan berjanji satu minggu diproses. Hal yang sama juga untuk DPRD selama satu minggu," tegasnya. 

    Wakil Ketua II DPRD Nunukan Burhanuddin menegaskan terkait Perda 16/2018 pasal 16 terdapat kekeliruan sebab, Suku Dayak Tenggalan tidak masuk dalam Perda tersebut. 

    Berdasarkan hasil koordinasi dengan Pemkab Nunukan dalam sepekan akan membuat draf perda revisi. Ketika sudah diserahkan ke DPRD Nunukan akan dilanjutkan dengan paripurna penyampaian nota revisi. 

    "Dari situ proses bisa satu atau dua hari jika dipercepat. Kemudian, diadakan pemandangan umum fraksi-fraksi. Kemudian dilanjutkan jawaban pemerintah," jelasnya. 

    Proses selanjutnya yakni akan dilakukan pembahasan. Pada proses pembahasan, lanjut Burhanuddin, akan memakan waktu pelaksanaan dengan cepat dengan catatan jika anggota DPRD Nunukan telah bersepakat untuk selanjutnya paripurna persetujuan.

    "Jadi kata kuncinya pada saat pembahasan bisa alot bisa tidak. Jika tidak alot akan menjadi pertimbangan karena bagi saya tidak ada masalah karena mereka memiliki dasar dan bukti jadi tinggal dimasukkan dan dilanjutkan," ucapnya.

    Untuk diketahui, pada Perda Nunukan Nomor 16/2018 Tentang Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat pada Bab VII Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat, Pasal 16 Pemberdayaan Masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari. Pertama, Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dayak Lundayeh.

    Kedua, Kesatuan Masyarkat Hukum Adat Dayak Agabag. Ketiga, Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Tidung. Keempat, Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dayat Tahol dan kelima, Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dayak Okolo.