Logo
Pusaran Dewan Pers
Iklan

Kisah Jurnalis Perempuan Bontang Alami Kekerasan Seksual Secara Verbal

Ilustrasi (Foto: Istimewa)

BERITA TERKAIT

    Kalimantan Timur

    Kisah Jurnalis Perempuan Bontang Alami Kekerasan Seksual Secara Verbal

    PusaranMedia.com

    Ilustrasi (Foto: Istimewa)

    Kisah Jurnalis Perempuan Bontang Alami Kekerasan Seksual Secara Verbal

    Ilustrasi (Foto: Istimewa)

    Reporter: Abdi | Editor: Supiansyah

    BONTANG - HARI INI, Senin 8 Maret 2021 tepat diperingatinya International Women's Day (IWD). Menguak sebuah fakta bagi seorang jurnalis tentunya membutuhkan narasumber. Sifat dan laku dari narasumber tentunya beraneka macam. Tidak sedikit kekerasan seksual secara fisik dan verbal didapatkan para jurnalis perempuan di Bontang. 

    Seperti kejadian yang dialami jurnalis Bontang. Rindu-- bukan nama sebenarnya. Menggeluti dunia jurnalis baru setahun terakhir dilakoni  Rindu. Tidak pernah dibayangkan Rindu jika diawal karirnya menjadi jurnalis ia sudah mendapatkan kekerasan seksual verbal. 

    Rindu mengisahkan, saat itu dirinya sedang melakukan peliputan di suatu kegiatan pembagian Bantuan Langsung Tunai (BLT) Covid-19 di suatu kelurahan di Bontang Selatan pada 2020 lalu. Saat berjalannya pembagian BLT, seorang warga ia jadikan sebagai salah satu narasumber. Kebetulan warga itu juga mendapatkan bantuan BLT tersebut. Rindu pun tidak lupa meminta kontak dari narasumber tersebut. Hitungan jam pun hasil wawancara tadi telah terbit di media online tempat ia bekerja.

    Rindu, langsung mengontak narsumbernya tadi via chating, dengan mengirimkan link berita yang ia tulis.  Usai mengirimkan link berita, Rindu pun terperanjat dan syok. Setelah melihat balasan dari narasumber tadi. Ya, sebuah gambar tidak senonoh. Gambar kelamin laki-laki yang ia terima. Sempat terdiam seribu bahasa. Kata Rindu, itu pertama kalinya ia melihat kelamin laki-laki dewasa.  Sontak Rindu pun langsung memblokir kontak orang tersebut lalu menghapus nomornya.

    "Tidak tahu, apakah dia sengaja atau lagi kena bajak HP-nya. Aku kurang paham, yang jelas aku kaget dan jijik banget liatnya. Jujur aku sempat trauma saat itu," kisah Rindu, Minggu (7/3/2021). Kisah kekerasan seksual verbal yang didapat Rindu sempat ia pendam seorang diri. Lantaran ia takut jika kejadian itu akan menjadi aib baginya. Awal Desember tahun lalu iapun ikut sebuah seminar trauma healing kekerasan seksual jurnalis perempuan yang diadakan Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI). Ia pun mengisahkan apa yang pernah ia alami kepada psikolog. 

    "Alhamdulillah, sejak konsultasi sama psikolog trauma itu mulai hilang. Mereka pesan kalau mendapatkan seperti itu lagi, ungkap dan laporkan," bebernya.  Asmara, bukan nama sebenarnya, juga pernah mendapatkan  kekerasan seksual yang ia alami secara verbal. Salah satunya komentar terhadap fisik dirinya.  Menggeluti dunia jurnalis sudah dua tahun dijalaninya. 

    "Bodi mbak bagus, bikin panas. Favorit saya bodi begini. Dalam hati mau ku injak aja orang seperti ini, " tutur Asmara. Kisah sama pernah dialami Gelora, bukan nama sebenarnya, Gelora yang sudah menekuni jurnalis sejak 6 tahun lalu tepatnya di tahun 2015 awal ia meniti karir sebagai seorang jurnalis. Tidak sedikit pelecehan seksual yang sudah ia dapatkan. Tentu membuat ia geram mendapat perlakukan itu. 

    Pada Agustus tahun lalu, salah satunya, saat itu ia mendapatkan pesan di WhatsApp dari dari salah satu narasumber. Dengan dalih ada sebuah isu bagus yang ingin ia berikan. Dan memanggil Gelora ketempat ia bekerja. Tapi Gelora menolak, namun orang tersebut sedikit memaksa. Parahnya, narasumber tersebut pernah memaksa Gelora untuk menjadi kekasihnya.  "Parah sih, tidak menyangka saja kalau dia (narasumber) seperti itu," kenangnya. 

    Tidak sampai di situ, bahkan salah satu  Pimpinan OPD di Bontang juga pernah mengajak Gelora untuk berlibur keluar daerah. Kejadian itu juga masih di bulan Agustus 2020. "Pernah mau disewakan apartemen. Tidak nyangka di kota sekecil Bontang ada aja orang seperti itu," pungkasnya. Gelora mengaku bingung ketika kekerasan seksual itu menimpa dia.

    Di satu sisi, dia ingin sekali melawan. Tapi merasa tak kuasa, tak ada daya. Satu sisi, dia mesti menjaga relasi. Karena bagaimana pun, jurnalis juga harus menjaga relasi dengan narasumber, meski tetap ada batasan. "Jujur saja malu juga mau cerita begini. Aku mana mau cerita pernah kena kekerasan seksual sama banyak orang. Paling sama orang yang aku percaya saja," kata perempuan penggemar traveling ini. 

    Baru-baru ini di awal Maret 2021 ini, kekerasan seksual secara verbal kembali terjadi kepada satu jurnalis Bontang. Saat itu Cinta - bukan nama sebenarnya dan jurnalis lainnya sedang melakukan peliputan disebuah instansi pemerintah di Bontang. Yang saat itu sedang menggelar tes urin secara massal. Kata Cinta, saat itu ada seorang staf yang tidak mau disebutkan Cinta.

    Staf tersebut 'bergurau' memintai untuk ditemani oleh Cinta saat tes urine. Agar ada yang memegangi botol dan ada yang memegangi kelaminnya. "Dia sebut langsung alat kelaminnya. Dan tidak cuma sekali, tapi berulang-ulang disebutkan. Tapi tidak aku hiraukan," sebutnya. Selama mengalami kekerasan seksual begini, Cinta mengaku tak pernah langsung melakukan tindakan ofensif. Biasanya dia diam, atau memilih pergi saja.

    Ini semua karena dia bingung. Apa mesti dibuat ketika tindakan bejat begitu menimpa dirinya. Belum lagi beban moral menjaga relasi dengan narasumber.  "Aku tidak tahu teman lain bagaimana menyikapi hal ini (Kekerasan seksual). Kalau aku, jujur mulai risih. Kalau pernyataannya sudah keluar konteks saat wawancara, aku memilih pergi," ucapnya. Ketua Forum Jurnalis Bontang (FJB), Edwin Agustyan mengecam keras hal tersebut (kekerasan seksual) terhadap para jurnalis perempuan di Bontang.

    Ia pun menyarankan kepada para jurnalis Bontang untuk tidak melakukan peliputan atau sesi wawancara seorang diri terlebih itu jika didalam sebuah ruangan tertutup. "Saya sangat mengecam tindakan  tidak senonoh pada jurnalis wanita di Bontang," ujarnya. Ia pun meminta kepada para jurnalis perempuan untuk melawan ketika dilakukan tidak senonoh. Namun, jika keadaan tidak memungkinkan lebih baik untuk menghindar.

    "Kalau ada seperti itu (kekerasan seksual) sahutin dengan tegas. Atau pas mereka ngomong aneh-aneh rekam buat bukti. Nanti baru laporin ke pihak berwajib," tutupnya. Ia pun berharap, pada peringatan hari Perempuan Internasional, para perempuan di dunia dapat lebih dihargai. Terkhusus bagi para jurnalis perempuan di Bontang.