Reporter: Diansyah | Editor: Bambang Irawan
NUNUKAN - Masih ingat perkara yang menjerat seorang kakek berinisal J (60) asal Kecamatan Sebuku, Kabupaten Nunukan yang mencabuli dua cucu kandungnya yang berumur 16 dan 14 tahun.
Saat ini kakek cabul menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Nunukan.
Dalam agenda sidang pembacaan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Nunukan menuntut yang bersangkutan dengan hukuman 18 tahun penjara dan denda Rp100 juta.
"Jika terdakwa tidak dapat membayarkan denda maka akan diganti dengan pidana kurungan selama satu tahun," ujar JPU Kejari Nunukan, Hartanto, Senin (3/4/2023).
Tuntutan tersebut berdasarkan sejumlah fakta-fakta selama jalannya persidangan dan keterangan sejumlah saksi yang dihadirkan di persidangan.
"Dari keterangan saksi-saksi dan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, terdakwa terbukti melakukan tindak pidana persetubuhan terhadap kedua orang cucu kandungannya sendiri dengan penuh kesadaran," ujarnya.
Bahkan, Hartanto mengatakan dalam fakta persidangan terungkap jika korban yang saat ini tengah duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) pernah dihamili hingga dipaksa untuk lakukan aborsi oleh terdakwa pada tahun 2022 lalu.
Saat itu sang kakek memberikan uang sebesar Rp2 juta kepada cucunya untuk melakukan aborsi dengan cara apapun. Hingga akhirnya janin yang dikandung digugurkannya seorang diri menggunakan obat aborsi yang saat itu korban pesan secara online.
Hartanto menyampaikan usai melakukan aborsi, psikis korban mulai terganggu dan sering murung di sekolah, hingga akhirnya guru tempat sekolahnya kemudian mendekati korban, sampai akhirnya korban memberanikan diri untuk menceritakan jika ia telah disetubuhi oleh kakeknya sendiri.
"Perkara ini kemudian berhasil diungkap Unit Reskrim Polsek Sebuku, guru korban menyampaikan perbuatan sang kakek ke Sekretaris Camat dan ditindaklanjuti dengan laporan polisi," jelasnya.
Hartanto menegaskan, lantaran terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yakni melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, yang dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik atau tenaga kependidikan yang mana berbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Jo Pasal 76 D Undang-undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak menjadi undang-undang, Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.