Reporter: Siswandi | Editor: Bunyamin
SANGATTA - Permasalahan perjanjian pembagian lahan perkebunan plasma kelapa sawit antara Koperasi Serba Usaha (KSU) Wira Benua dan PT Kutai Mitra Sejahtera (KMS) telah berlangsung sejak 2017 dan hingga kini belum juga menemui titik terang.
Ketua Umum Lembaga Forum Pemuda Pemantau Kebijakan (FP2K) sekaligus kuasa KSU Wira Benua, Asia Muhidin menjelaskan permasalahan ini secara rinci.
Menurutnya, total izin HGU PT KMS seluas 7.321 Hektare (Ha) di Muara Ancalong dengan kebun inti yang sudah tertanam mencapai 3.831 Ha dan plasma seluas 749 hektare.
Rinciannya, izin HGU PT KMS seluas 846 Ha di Desa Senyiur dan 6.466 Ha di Desa Kelinjau Ilir.
"Pada 2017, Bupati Kutim menetapkan plasma di Desa Kelinjau Ilir seluas 300 Ha dan Desa Senyiur seluas 449 Ha dengan dua Surat Keputusan (SK). Tapi, kami merasa dirugikan secara materiil dan immaterial karena tidak ada tanggung jawab dari pihak perusahaan sejak 2017 hingga sekarang," katanya.
Kemudian pada 15 Mei 2023, PT KMS secara sepihak membatalkan Penandatanganan Perjanjian Kerja Sama (PKS) yang seharusnya sesuai hasil kesepakatan rapat pada 29 Maret 2023.
Asia menyatakan PT KMS berpotensi mendapatkan Surat Peringatan (SP) III dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kutim dan apabila terakhir kalinya tidak mengindahkan pemerintah, maka izin PT KMS, termasuk HGU terancam dicabut.
"Jika PT KMS tidak mengindahkan surat-surat Pemkab Kutim sebelumnya, maka izin perusahaan terancam di cabut karena SP III akan turun," tegas Asia.
Sebelumnya, Dinas Perkebunan Kabupaten Kutim mengeluarkan SP I pada 26 Januari 2024 dan SP II pada 19 Juni 2024. SP ini memperingatkan PT KMS untuk memenuhi kewajibannya.
KSU Wira Benua akhirnya melaporkan masalah ini ke pengadilan pada 25 April 2024.