Reporter : Ayu Norwahliyah | Editor : Buniyamin
SAMARINDA - Pembangunan sekolah terpadu bertaraf internasional di SMP Negeri 16 Samarinda yang berada di Jalan Jakarta, Loa Bakung, menuai perhatian berbagai pihak.
Meskipun sekolah ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas pendidikan, banyak pihak yang khawatir proyek ini justru memperkuat pandangan masyarakat tentang adanya sekolah unggulan, yang bertentangan dengan prinsip pemerataan pendidikan.
Sebelumnya, Wali Kota Samarinda Andi Harun mengungkapkan sekolah ini dirancang untuk menjadi pusat pendidikan unggulan dengan fasilitas lengkap, serta kurikulum yang berstandar internasional.
"Karena jumlah kelasnya terbatas, pasti seleksinya sangat profesional dan ketat, gurunya pun seperti itu. Kita mulai di 2025 melakukan seleksi," kata Andi Harun.
Sekolah ini nantinya tak hanya mencakup jenjang SD, tetapi juga akan diperluas hingga tingkat SMP dan SMA.
Namun, Ketua Komisi IV DPRD Samarinda, Sri Puji Astuti mengingatkan berdasarkan aturan, istilah sekolah unggulan seharusnya sudah tidak ada lagi dalam sistem pendidikan nasional.
"Menurut Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud), sekolah unggulan sudah tidak diperbolehkan," kata Puji.
Meskipun maksud Pemerintah Kota (Pemkot) Samarinda bukan untuk menciptakan sekolah unggulan, Puji menyatakan bahwa penting untuk menjalankan program ini sesuai dengan aturan yang berlaku agar tidak menimbulkan kesenjangan di masyarakat.
Mengingat penerimaan siswa baru saat ini harus berdasarkan sistem zonasi, meskipun masih ada kuota untuk afirmasi dan prestasi.
"Maksud Wali Kota itu sebenarnya bukan untuk menciptakan sekolah unggulan. Sekolah lain juga akan menyusul dengan program yang bertujuan meningkatkan kualitas pendidikan di Samarinda," ungkapnya.
Saat ini, lanjut Puji, di Samarinda masih terdapat sekitar 200 sekolah negeri, terutama di tingkat SD, yang kondisinya memprihatinkan, seperti bangunan yang hampir roboh dan aset sekolah yang masih menjadi milik masyarakat.
"Pemkot tentunya ingin pemerataan, karena masalah pendidikan menyangkut sumber daya manusia (SDM), sarana dan prasarana (sarpras), serta kurikulum," jelasnya.
Ia juga mengakui bahwa tantangan dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Samarinda tidak bisa sepenuhnya dibebankan pada pemerintah, mengingat keterbatasan anggaran daerah.
"Kita ingin meningkatkan kualitas, tetapi anggaran dan kemampuan keuangan daerah di Kota Samarinda tidak besar. Jadi, peningkatan harus dilakukan secara bertahap, kecuali ada bantuan dari CSR," tutupnya.