Reporter : Bambang Irawan | Editor : Buniyamin
AKHIRNYA saya kembali mengunjungi Desa Pela. Sebenarnya saya sudah pernah beberapa kali mengunjungi desa yang berada di Kecamatan Kota Bangun, Kabupaten Kutai Kartanegara tersebut. Terakhir kali saya ke Desa Pela akhir tahun 2020 lalu, cukup lama memang.
Selama dua hari, Sabtu dan Minggu di penghujung Oktober lalu, saya bersama sejumlah wartawan media online, cetak dan televisi dari Kota Tenggarong, Balikpapan dan Samarinda berkesempatan untuk mengunjungi Desa Pela dengan difasilitasi PT Pertamina Hulu Mahakam (PT PHM). Desa Pela merupakan desa binaan perusahaan Migas tersebut melalui program Tanggung Jawab Sosial atau Corporate Social Responsibility (CSR) sejak tahun 2017 lalu.
Untuk bisa sampai ke Desa Pela cukup menguras energi. Dari Tenggarong terlebih dahulu harus menempuh jarak sekitar 60 kilometer atau 1 jam 30 menit. Itu baru sampai di Kecamatan Kota Bangun saja. Harus disambung lagi lewat jalur sungai sekitar 20 menit. Beruntung, sekarang ini jalan yang dilalui relatif mulus, bahkan sebagian jalan sudah disemenisasi atau diaspal.
Dulu, untuk melintas di poros Tenggarong-Kota Bangun dibutuhkan fisik yang prima. Bagaimana tidak, selama diperjalanan akan melalui jalan yang penuh lubang. Tidak hanya besar tapi juga dalam, seperti layaknya kubangan kerbau yang penuh air di musim hujan dan debu tebal di musim kemarau.
Jalur ini memang merupakan satu-satunya akses dari Tenggarong menuju Kota Bangun -Kecamatan Kembang Janggut –Kecamatan Tabang yang menjadi ujung dari Kabupaten Kukar di wilayah Utara. Truk-truk besar pengangkut sembako dan BBM banyak yang hilir mudik melintas.
"Lumayan capek juga kelamaan duduk di dalam mobil," ucap Amir, wartawan asal Balikpapan sambil meluruskan pinggangnya begitu turun dari mobil.
"Jalurnya seperti di sirkuit Moto GP penuh tikungan tajam, bikin sakit pinggang" sambungnya.
"Habis ini kita lanjut lagi naik kapal feri baru sampai ke Desa Pela," sambung saya sambil menunjuk arah muara Sungai Pela yang merupakan anak dari Sungai Mahakam.
Beruntung cuaca sangat cerah, biasanya di bulan-bulan ini curah hujan cukup tinggi, hampir setiap hari hujan turun. Tentu tak terbayangkan bagaimana rasanya menyeberangi Sungai Mahakam menuju Sungai Pela yang cukup lebar di tengah hujan deras dan angin kencang. Kapal kayu yang kami tumpangi bergoyang karena hempasan gelombang. Pastinya akan membuat jantung berdegup lebih kencang.
Perjalanan dilanjutkan lewat susur Sungai Mahakam menuju Sungai Pela sekitar 20 menit menaiki kapal kayu bermesin tunggal atau warga setempat biasa menyebutnya kapal feri. "Kalau beruntung kita bisa melihat rombongan Pesut Mahakam," ucap motoris kapal. Kapal terus melaju membawa kami yang masih penat hingga sampai Dermaga Desa Pela, sore itu.
Penduduk di Desa Pela sebanyak 175 KK (Kepala Keluarga) atau 598 jiwa terbagi dalam enam RT (Rukun Tetangga). Mayoritasnya bekerja sebagai nelayan. Desa Pela cukup unik karena berada di bibir Danau Semayang yang memiliki luas 13.000 hektare dengan dikelilingi tiga desa yakni Melintang, Sangkuliman dan Semayang.
Desa Pela merupakan perkampungan nelayan dengan bangunan rumah terbuat dari kayu Ulin yang memang sangat mudah didapatkan. Untuk aktivitas sehari-hari warga lebih banyak menggunakan jalur sungai, sedangkan jembatan kayu hanya menghubungkan setiap rumah yang berada di atas sungai, rawa dan danau.
Desa Pela sangat beruntung karena Sungai Pela yang panjangnya hanya sekitar 2 Km (Kilometer) itu menjadi perlintasan ikan Pesut Mahakam (Orcaella brevirostris) menuju Danau Semayang untuk mencari ikan - ikan kecil yang menjadi makanan kesukaannya.
“Biasanya Pesut akan muncul sekitar pukul 08.00 pagi, datang dari Sungai Mahakam melintasi Sungai Pela menuju Danau Semayang.
Kemudian siang hari sekitar pukul 12.00 siang mereka keluar dari danau kembali ke Mahakam, sorenya sekitar pukul 15.00 kembali lagi masuk ke danau,” kata Wakil ketua Pokdarwis Bekayuh, Beumbai, Bebaya (B3) Desa Pela, Bobi Arianto yang menemani rombongan selama menginap di Desa Pela.
Bobi mengatakan untuk bisa melihat Pesut Mahakam perlu sedikit kesabaran dan keberuntungan karena kemunculan hewan endemik perairan Mahakam itu, sangat bergantung pada kondisi pasang surut air Sungai Mahakam. “Kalau kondisi air lagi bagus biasanya mereka akan mudah terlihat, tetapi kalau air Danau Semayang sedang surut atau kering tentunya Pesut akan menghilang. Biasanya antara bulan Juli dan Agustus itu kemarau, air di Danau Semayang menyusut,” ujar pria berperawakan tinggi besar ini.
Bobi berbagi bercerita, dulunya anak-anak muda di Desa Pela setelah lulus sekolah tidak punya pilihan lain selain melanjutkan pekerjaan orangtuanya turun temurun sebagai nelayan atau petani musiman. “Kalau beruntung bisa melanjutkan sekolah ke Kota Bangun atau Tenggarong, tetapi kalau tidak ya tetap tinggal di Pela. Biasanya menjadi nelayan, tukang kayu ataupun petani musiman,” katanya.
Namun sejak 2017 lalu, kondisi ini lambat laun mulai berubah. Berawal dari masuknya PT PHM (PT Pertamina Hulu Mahakam) melalui program CSR (Corporate Social Responcibility) yang diberi nama Konservasi Endemik (Komik) Pesut Mahakam. Program ini merupakan konservasi satwa terancam punah berbasis Community Based Ecotourism. “Kami diajari cara mengelola pariwisata secara profesional dan berkelanjutan melalui peningkatan SDM, bantuan peralatan hingga sarana dan prasarana ekowisata,” ujar Bobi.
Saat ini, dia bersama para pemuda di kampungnya memiliki pekerjaan baru yakni sebagai pemandu wisata (tour guide) bagi para wisatawan yang datang berkunjung ke Desa Pela. “Hasilnya juga sangat lumayan karena setiap minggu ada saja tamu atau wisatawan lokal, nasional bahkan dari luar negeri datang berkunjung,” katanya.
“Kami menawarkan paket wisata Susur Sungai Pela untuk menyaksikan langsung Pesut Mahakam yang hidup di habitat liarnya, bermain air atau menyaksikan sunset dan sunrise di Danau Semayang serta aktivitas sehari-hari warga lokal di danau dan sungai saat mencari jukut (ikan) dan mengolah pija (ikan asin),” tambah Bobi.
Semakin terbukanya Desa Pela dengan kehadiran para wisatawan dari berbagai latar belakang tentunya sempat menimbulkan kekhawatiran dari sebagian warga akan dampak negatifnya, terlebih warga di Desa Pela sangat agamis, hampir mayoritasnya beragama Islam. “Dengan sosialisasi secara terus-menerus dan memberikan pemahaman tanpa mengenal lelah melalui Pokdarwis, hingga saat ini hampir seluruh warga desa sangat mendukung pengembangan wisata di Pela,”katanya
Datangnya para wisatawan tentu membuat ekonomi di Desa Pela juga semakin menggeliat. Saat ini setidaknya ada enam rumah tinggal (homestay) yang bisa digunakan bagi para tamu untuk menginap, begitu juga kios dan warung juga mulai bermunculan.
Salah seorang pemilik homestay, Gazali Rahman mengatakan untuk tarif menginap, tamu dikenakan biaya Rp50 ribu per malam. “Itu di luar dari biaya makan dan minum, untuk satu kali makan dan minum dikenakan lagi biaya Rp50 ribu. Misalnya dalam sehari tiga kali makan, maka biayanya Rp150 ribu. Untuk fasilitas, kami menyediakan satu kamar tidur muat untuk berdua, kipas angin serta kamar mandi,” jelasnya.
Pagi masih gelap, suara azan baru saja terdengar dari pelantang suara di masjid yang tak jauh dari tempat menginap. “Ayo cepat bangun. Nanti kita kesiangan untuk melihat sunrise dan Pesut,” kata Fajar, wartawan dari Samarinda yang menjadi teman sekamar saya. Rupanya dia sudah bangun lebih dulu dan bersiap dengan peralatan kameranya.
Selesai salat Subuh dan urusan lainnya di kamar mandi, saya pun bersiap. Pagi ini rencananya akan menyaksikan sunrise di Danau Semayang sekaligus ,berburu, Pesut di Sungai Pela. Saya bersama rombongan diminta untuk berkumpul di Dermaga Desa Pela.
“Sarapannya nanti sekalian aja di kapal feri, semuanya sudah disiapkan,” kata Bobi yang ikut mendampingi rombongan.
Sarapan di kapal feri menjadi pengalaman baru bagi saya, meskipun menunya sangat sederhana Nasi Kuning, Mihun, Oseng Tempe dan ditemani kopi dan teh hangat. Kapal melaju pelan menyusuri Sungai Pela, sesekali kapal berayun terkena gelombang saat berpapasan dengan kapal lain. “Biarpun sambil sarapan tapi mata jangan lengah ya, kamera harus standby. Siapa tahu tiba-tiba muncul Pesut Mahakam,” kata Debe, rekan wartawan dari Balikpapan.
Hampir 10 menit mengawasi perairan Sungai Pela yang airnya berwarna coklat keruh, buruan yang dicari belum juga muncul kepermukaan air. “Ada muncul itu dua ekor, saya sempat lihat,” kata Suri, wartawan Samarinda sambil berteriak kegirangan. Sayangnya dia tidak sempat mengabadikan mamalia sungai tersebut karena memang munculnya secara tiba-tiba.
Sayapun sebenarnya sempat melihat sekelebatan sosok berwarna-abu, namun saya ragu apakah itu benar-benar Pesut atau hanya batang kayu yang hanyut terbawa air. “Biasanya Pesut muncul berombongan lima sampai enam ekor,” kata Bobi.
Layaknya hewan mamalia yang bernapas dengan paru-paru, maka Pesut Mahakam akan muncul secara periodik ke permukaan air untuk bernapas atau menghirup udara sambil sesekali bermain dan mengejar ikan yang menjadi santapannya. “Mereka paling jauh terlihat di perairan Muara Pahu yang merupakan hulu Sungai Mahakam dan di hilir paling jauh di Muara Kaman. Pesut cenderung menghindari kapal besar dan ponton batu bara,” jelasnya.
Menurutnya setiap Pesut memiliki keunikan tersendiri. Mereka akan dikenali dari sirip punggung. “Ini menjadi identitas pembeda setiap Pesut. Masing-masing juga punya nama khusus. Yang paling besar namanya Viona, kami mengenalinya sebagai Nenek Pesut usianya sekitar 15 tahun. Viona inilah yang selalu menjaga anggota keluarganya. Dia sering terlihat berada di samping anak-anak Pesut yang baru lahir. Tahun kemarin ada enam ekor yang baru lahir” jelasnya.
Head of Communication Relations & CID PHM, Frans Alexander A. Hukom mengatakan Desa Pela merupakan sasaran dari CSR PT PHM melalui program Konservasi Endemik (Komik) Pesut Mahakam. Program ini dijalankan dengan berlatar belakang pada Pesut Mahakam yang terancam punah. “Padahal hewan ini merupakan endemik fauna Sungai Mahakam Kalimantan Timur," katanya.
Demi menjaga Pesut Mahakam dari ancaman kepunahan serta mendukung ekowisata berkelanjutan di Desa Pela, PT PHM telah menjalin kemitraan dengan Dinas Pariwisata (Dispar) Provinsi Kaltim dan Kabupaten, Dinas Lingkungan Hidup, Yayasan Konservasi Internasional RASI, Politeknik Negeri Samarinda dan Pokdarwis Desa Pela.
Berdasarkan data tahun 2020, jumlah Pesut Mahakam diperkirakan hanya tersisa sekitar 62-70 ekor dengan status Critically Endangered (CR). Mamalia air tawar itu termasuk satwa yang dilindungi sesuai UU Nomor 5 Tahun 1990. Adapun penyebab kematian Pesut Mahakam tersebut : Terjebak Jaring Nelayan (66 persen), Tertabrak Kapal (10 persen) Faktor Usia, Keracunan dan Terkena Setrum Listrik (5 persen) serta Penyebab Lainnya (9 persen).
Melihat tingginya kematian Pesut akibat terjebak jaring nelayan. Di tahun 2019-2020 PHM melakukan inisiasi pengembangan Pinger Akuatik berupa perangkat elektronik kecil yang dimodifikasi dari resonansi suara yang digunakan PHM dalam proses seismik. Alat ini mengeluarkan suara pulse (ultrasonik) agar Pesut tidak mendekat ke jaring nelayan. “Pesut mempunyai kemampuan mendeteksi dan menghindari rintangan atau bahaya dengan menggunakan gelombang ultrasonik. Sonar dari pinger akustik frekuensinya akan didengar Pesut dan menjaga Pesut tidak mendekat ke jaring nelayan,” katanya.
Penggunaan Pinger Akustik ini cukup ampuh. Berdasarkan studi penyebab kematian Pesut Mahakam dan monitoring populasi Pesut yang dilakukan dua kali setahun bekerjasama dengan Yayasan RASI (Rare Aquatic Spesies Indonesia) hasilnya cukup memuaskan yakni angka kematian Pesut karena terjerat jaring nelayan turun menjadi nol persen, kemudian pada tahun 2022-2023 terdapat kelahiran enam ekor Pesut. “Setidaknya ada 80 nelayan yang sudah mampu mengoperasilan alat Pinger Akustik ini,” tambah Frans.
Tak hanya fokus pada penanganan Pesut Mahakam, di tahun 2021-2022 PHM juga mengembangkan program lainnya seperti bantuan alat tangkap nelayan ramah lingkungan, pelatihan pelaku wisata lokal (guide, homestay, kerajinan), pengembangan sampah organik hingga membantu penerbitan Peraturan Desa Tentang Konservasi Pesut. Kemudian, di tahun 2023-2024 dilanjutkan dengan program kemandirian yakni menjadikan Desa Pela sebagai destinasi wisata berbasis konservasi yang berkelanjutan.
Pendampingan yang dilakukan PHM ini membuahkan hasil yang sangat membanggakan. Sebanyak 11.119 wisatawan sudah berkunjung ke Desa Pela dengan pendapatan Pokdarwis mencapai 342,6 juta per tahun dan 150 juta per tahun pendapatan warga dari homestay.
Sederet penghargaan yang mentereng mulai dari tingkat nasional hingga internasional juga berhasil diraih.
Mulai dari Desa Pela ditetapkan sebagai Juara 3 Desa Wisata Nasional dalam Anugerah Desa Wisata Indonesia pada tahun 2022 (Visitasi ke Desa Pela dilakukan langsung oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI, Sandiaga Uno). Desa Pela ditetapkan sebagai Member of The Best Tourism Village Upgrade Programme 2023 dari United Nation World Tourism Organization (Desa Pela menjadi 1 dari 20 desa di seluruh dunia. Peserta lain: Jepang. Spanyol. Maroko, Peru, Italia, Turki, dll).
Meraih Silver dan Bronze pada Tourism Entrepreneurial Marketing Award 2023. Mark Plus Indonesia, Kalpataru Provinsi Kalimantan Timur kategori Penyelamat Lingkungan 2023 dan terakhir di tahun 2024, Pokdarwis 3B Desa Pela meraih Penghargaan Kalpataru 2024 Kategori Penyelamat dari KLHK RI untuk Local Hero Pokdarwis.