Reporter: Lodya Astagina | Editor: Buniyamin
TENGGARONG - Ratusan nelayan kerang dara dari enam desa di Kecamatan Muara Badak, Kutai Kartanegara (Kukar) menjerit setelah gagal panen di akhir 2024 lalu.
Kegagalan ini dikeluhkan nelayan karena menduga air laut yang tercemar akibat limbah pengeboran PT Pertamina Hulu Sanga Sanga (PHSS).
Salah satu nelayan, M Yusuf mengungkapkan, ada 299 nelayan terdampak dari desa Tanjung Limau, Muara Badak Ilir, Muara Badak Ulu, Saliki, Gas Alam dan Desa Salo Palai.
“Gagal panen sampai 800 ton dan kerugian diperkirakan sampai 50 miliar. Kami juga sudah ekspor sampai Bangkok, Thailand,” ungkap Yusuf, Rabu (8/1/2025).
Mewakili para nelayan, Yusuf menyampaikan tuntutan agar PT PHSS bisa mengambil tindakan untuk memberi ganti rugi atas dampak yang ditimbulkan.
Para nelayan juga meminta untuk dilakukan peremajaan atau pembersihan lingkungan yang terdampak agar aktivitas kerang dara bisa dilakukan kembali dan bisa menopang kehidupan ekonomi masyarakat sekitar.
“Terakhir, PHSS harus berkomitmen agar tidak melakukan hal serupa. Sebenarnya banyak permasalahan yang terjadi, mungkin ini yang paling parah,” sebutnya.
Kematian kerang dara terjadi pada Desember 2024 lalu dan meninggalkan bau menyengat. Nelayan sudah mengumpulkan bukti berupa foto dan video yang dijadikan sebagai bahan aduan untuk meminta kompensasi.
Ketua Forum BPD Muara Badak, Iskandar mulai menerima laporan pada 28 Desember usai nelayan mendatangi sumber indikasi pencemaran di Desa Tanjung Limau pada 27 Desember 2024 lalu.
“Saya keluarkan surat untuk difasilitasi 29 Desember, tanggal 31 difasilitasi kecamatan tapi tidak ada titik temu,” ujarnya.
Setelahnya, Iskandar pun bermohon untuk ke jenjang Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kukar.
Perjuangan para nelayan juga mendapat dukungan dari Komisi I DPRD Kukar yang sebelumnya sudah melakukan sidak di 3 Januari.
Satu nelayan, kata Iskandar memiliki 3-30 keramba. Satu petak keramba diisi 2 ton kerang dara dan 10 sampai 12 ton biasanya disiapkan untuk ekspor ke Bangkok dengan waktu pemeliharaan 7-12 bulan.
“Setelah terkontaminasi, di tanggal 30 surat kami masuk ke kecamatan, baru diadakan netralisasi, penutupan jebolan dan dikaporit. Berarti ada niat untuk menghilangkan alat bukti,” tuturnya.
Diungkap Iskandar, piring nasi ratusan nelayan di Muara Badak pecah dan kini menunggu keajaiban. Bahkan para nelayan sudah ditagih oleh pihak bank.
Sebab, lanjut dia, modal awal nelayan rata-rata meminjam dari bank dengan menjami kan surat tanah berharga.
“Ada utang menumpuk. Makanya jangan sampai pihak PHSS memunculkan bibit-bibit perampok. Ketika tidak ada uang untuk membayar, pasti berpikir negatif, itu yang perlu dicamkan Pertamina,” tegasnya.