Reporter: Ayu Norwahliyah | Editor: Bambang Irawan
SAMARINDA – Tugu Pesut Mahakam yang kini berdiri di simpang Mal Lembuswana, Kota Samarinda, menjadi pusat perhatian masyarakat.
Tugu yang diresmikan dengan nama asli Tugu Parasamya ini tidak hanya dirancang sebagai landmark kota, tetapi juga membawa pesan penting tentang kesadaran lingkungan dan inovasi teknologi.
Namun, proyek senilai Rp1,1 miliar ini mendapat sorotan tajam. Banyak warga mempertanyakan desain tugu yang dianggap kurang menyerupai siluet pesut, serta anggaran yang dinilai terlalu besar dibandingkan dengan hasil yang terlihat.
Manajer Proyek, Ali Rossit menjelaskan anggaran tersebut tidak hanya untuk pembangunan tugu semata, tetapi mencakup berbagai elemen pendukung.
“Anggaran ini meliputi instalasi taman, jalur pejalan kaki, pondasi, pencahayaan, serta pajak seperti PPN dan PPh,” ungkap Ali kepada Pusaranmedia.com baru-baru ini.
Ia menambahkan simpang Mal Lembuswana, yang kerap dilalui kendaraan berat, memerlukan pondasi kokoh demi stabilitas tugu.
Pihaknya pun menggunakan material berkualitas tinggi seperti pipa baja berdiameter 4 inci dengan spesifikasi tinggi, dilengkapi kawat kapal berkekuatan 52 lb untuk pembuatan tugu.
Selain itu, tugu ini juga terbuat dari 330 kilogram plastik daur ulang jenis High-Density Polyethylene (HDPE), setara dengan 16.500 botol plastik atau 165.000 sedotan.
Material tersebut dipilih karena tahan terhadap sinar UV dan lebih kuat dibandingkan plastik biasa.
Prosesnya melibatkan pengumpulan plastik khusus seperti tutup botol yang kemudian diolah, dicetak ulang, hingga diwarnai dengan homogenitas tinggi agar warna tetap awet dan utuh.
Dengan tinggi 8 meter dan berat sekitar 3 ton, struktur tugu dirancang menggantung untuk meminimalkan dampak angin dan getaran.
“Sebenarnya secara pasti nama tugu ini dalam proyeknya belum ada. Tapi entah mengapa tiba-tiba ada yang mencetuskan Tugu Pesug Mahakam sedangkan judul proyeknya Tugu Parasamya (tugu sebelumnya," jelasnya.
Vergian Septiandy, arsitek dari CV Evolution mengungkapkan bahwa pembangunan tugu ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya sampah plastik.
“Kami berharap tugu ini dapat menjadi simbol untuk mengurangi penggunaan plastik. Sebagai informasi, plastik membutuhkan waktu hingga 450 tahun untuk terurai,” jelasnya.
Selain membawa pesan lingkungan, tugu ini juga menjadi solusi tata kota. Sebelum tugu dibangun, area tersebut tidak memiliki jalur koneksi langsung antara Mal Lembuswana dan Masjid Baitul Muttaqin, sehingga menyulitkan pejalan kaki.
“Dengan desain ini, kami menciptakan konektivitas yang lebih baik bagi pejalan kaki,” tambah Egi, sapaan Vergian Septiandy.
Warna fusia yang dominan pada tugu terinspirasi dari bunga anting-anting, tanaman khas Samarinda. Dari berbagai sudut, desain tugu terlihat abstrak menyerupai pesut, sementara dari sisi lain menyerupai kelopak bunga fusia.
“Soal bentuk itu subjektif, tetapi tujuan kami adalah membawa isu lingkungan dan teknologi ke dalam desain ini,” kata dia.
Terletak di trotoar simpang Jalan S Parman dan Jalan Dr Soetomo, tugu ini dirancang memberikan pengalaman visual terbaik bagi pejalan kaki.
“Titik pandang terbaik untuk menikmati keindahan tugu ini adalah dengan berjalan kaki,” tutupnya.