Reporter : Ayu Norwahliyah | Editor : Buniyamin
SAMARINDA – Kebijakan efisiensi anggaran yang diterapkan pemerintah pusat mulai menjadi perhatian di daerah, termasuk di Kota Samarinda.
Dengan adanya pemangkasan anggaran tersebut, pemerintah daerah dituntut untuk lebih cermat dalam mengatur belanja, serta memastikan program prioritas agar tetap berjalan tanpa mengorbankan kepentingan masyarakat.
Wali Kota Samarinda, Andi Harun menegaskan Pemerintah Kota (Pemkot) Samarinda siap menghadapi kebijakan efisiensi anggaran yang ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Ia menyebut strategi pengelolaan anggaran yang baik menjadi kunci dalam menyiasati pemangkasan ini agar program prioritas tetap berjalan. “Misalnya, proyek yang seharusnya dikerjakan dalam satu tahun bisa kita bagi menjadi dua tahun,” ujar Andi Harun.
Selain itu, Andi Harun juga menekankan pentingnya inovasi dan kreativitas kepala daerah dalam mengelola anggaran yang terbatas, baik tingkat kota, provinsi maupun kabupaten. “Kita sudah memperhitungkan dan bisa mengadaptasi efisiensi anggaran yang menjadi kebijakan nasional,” jelasnya.
Kebijakan efisiensi anggaran ini didasari oleh Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 yang memerintahkan penghematan anggaran di kementerian dan lembaga (K/L) sebesar Rp306,7 triliun.
Rinciannya, pemangkasan belanja kementerian dan lembaga mencapai Rp256,1 triliun, sementara pengurangan transfer ke daerah sebesar Rp50,59 triliun.
Dana hasil penghematan ini akan dialokasikan untuk mendukung program prioritas pemerintah, termasuk memperluas cakupan penerima manfaat program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Anggota Komisi IV DPRD Kota Samarinda, Ismail Latisi mengingatkan, kebijakan ini harus tetap mempertimbangkan kondisi keuangan pemerintah daerah agar tidak menimbulkan permasalahan baru.
“Jangan sampai program yang dijalankan tidak selaras dengan kondisi keuangan pemerintah, sehingga berpotensi menimbulkan masalah di sektor lain,” ujarnya.
Selain itu, Ismail juga menyoroti kemungkinan dampak dari efisiensi anggaran terhadap tenaga kerja.
Sebab, banyak yang menilai bahwa pemangkasan anggaran berpotensi pada pemutusan hubungan kerja (PHK) di beberapa sektor, terutama yang bergantung pada dana pemerintah.
“Terkait dengan adanya PHK di berbagai instansi, perlu dilihat lebih dalam apa penyebab utamanya. Tidak semua PHK semata-mata terjadi karena efisiensi anggaran,” ungkapnya.
Menurutnya, evaluasi menyeluruh perlu dilakukan untuk memastikan apakah kebijakan efisiensi anggaran benar-benar menjadi faktor utama dalam pemutusan kerja tersebut.
Jika dalam pelaksanaan program MBG memang diperlukan efisiensi anggaran yang berdampak pada PHK, maka pemerintah harus mencari solusi yang tidak mengorbankan kesejahteraan masyarakat.
“Hal ini penting agar kebijakan yang diterapkan tetap berpihak kepada kesejahteraan masyarakat tanpa mengorbankan pihak lain,” pungkasnya. (Adv)