Logo
Pusaran Dewan Pers
Iklan
Banner ADV

Kaban Kesbangpol Kukar Sebut Komponen Masyarakat Punya Peran  Cegah Konflik Sosial

Kaban Kesbangpol Kukar Rinda Desianti paparkan potensi konflik di 2025. (Foto: Lodya/Pusaranmedia.com)

BERITA TERKAIT

    Banner ADV

    Diskominfo Kutai Kartanegara

    Kaban Kesbangpol Kukar Sebut Komponen Masyarakat Punya Peran  Cegah Konflik Sosial

    PusaranMedia.com

    Kaban Kesbangpol Kukar Rinda Desianti paparkan potensi konflik di 2025. (Foto: Lodya/Pusaranmedia.com)

    Banner ADV

    Kaban Kesbangpol Kukar Sebut Komponen Masyarakat Punya Peran  Cegah Konflik Sosial

    Kaban Kesbangpol Kukar Rinda Desianti paparkan potensi konflik di 2025. (Foto: Lodya/Pusaranmedia.com)

    Reporter: Lodya Astagina | Editor: Bambang Irawan

    TENGGARONG - Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kutai Kartanegara (Kukar) Rinda Desianti menjadi salah satu narasumber dalam acara Pembinaan Komunikasi Cegah Konflik Sosial yang  berlangsung di Makodim 0906/KKR, Selasa (25/2/2025). 

    Rinda menjadi salah satu dari empat narasumber, salah satunya Brigjen TNI Dr Fransiscus Ari Susetio yang menjelaskan soal Wawasan Kebangsaan. Binkom Cegah Konflik Sosial itu dihadiri sejumlah ormas, tokoh agama, tokoh adat, pelajar dan pihak terkait lainnya. 

    Rinda di agenda tersebut memaparkan materi tentang Peran Komponen Masyarakat dalam Pencegahan Penanganan Konflik. Ia menyampaikan banyak hal bisa memicu konflik. Bahkan warna dalam berpakaian saja dapat dikaitkan dengan politik. 

    “Warna berbeda dikaitkan dengan politik, saya berpikir sekarang kalau mau berpakaian saja kok tidak merdeka ya,” tuturnya. 

    Setiap manusia yang lahir ke bumi sudah membawa identitas, seperti suku dan agama. Tetapi hal itu bisa berubah seiring waktu, berlandaskan kehidupan sosial, pekerjaan, hingga pengalaman di lingkungan masyarakat. Perubahan sosial yang cepat juga berpotensi memicu konflik.

    Indonesia, kata Rinda, sangat cepat terjadi perubahan sosial. Contoh paling nyata adalah penggunaan handphone yang memiliki dampak negatif dan positif di dalam genggaman. Tinggal manusianya saja yang berpikir mau dibawa kemana genggaman itu. 

    “Sekarang generasi muda banyak tidak memahami wawasan kebangsaan, bela negara dan pancasila. Pancasila tidak lagi diajarkan secara sistematis dan masif seperti dulu,” tegasnya. 

    Menurutnya, menjadi tugas bersama semua pihak untuk menumbuhkembangkan nilai-nilai Pancasila dalam diri individu bangsa Indonesia. Dia tidak setuju jika Pancasila diinterpretasikan bebas, melainkan harus secara jelas. 

    “Saya berharap kita semua di sini bisa bersama menjaga Kukar agar aman dan kondusif,” tuturnya. 

    Sementara Brigjen TNI Dr Fransiscus Ari Susetio dalam paparannya mengajak peserta untuk melihat Indonesia dan beberapa negara lainnya dalam skop yang lebih luas. Fransiscus menyebut konflik di sebuah negara bukan hanya terjadi karena faktor internal, tetapi juga eksternal.

    Sumber Daya Alam (SDA) menjadi salah satu faktor yang memunculkan konflik di sebuah negara dengan hasil yang berlimpah. Memicu pihak lain tertarik untuk menguasai SDA tersebut demi keuntungannya. 

    Beberapa negara yang berkonflik karena SDA adalah Sierra Leone, Republik, Demokratik Kongo, Mali, Pantai Gading, Liberia, Mozambik, Angola, Bolivia, Chili. 

    Negara berkonflik karena sumber energi meliputi Sudan, Sudan Selatan, Nigeria, Somalia, Libya, Laut Cina Selatan, Arktik (Rusia, Norwegia, AS, Kanada, Denmark). Serta negara yang konflik karena Air adalah Darfur, Sudan-Ethiopia, Israel-Palestina-Yordania, Turki-Suriah-Irak, India-Pakistan.

    Ia melihat Indonesia bisa mengalami konflik serupa jika mengabaikan perdamaian dan menyebabkan konflik berkelanjutan terus-menerus. Dampaknya akan menimbulkan kemiskinan, kelaparan dan tertinggal. Sebab Indonesia memiliki banyak potensi yang bisa diperebutkan. 

    “Konflik bisa menyebabkan kerusakan dan perubahan, yang bagus menjadi tidak bagus. Semua kompak dan bersatu untuk menghalau konflik,” sebutnya. 

    Konflik yang pernah terjadi di Indonesia dan sering menjadi buah bibir ialag konflik Sampit Februari 2001, konflik poso 1998-2001, serta konflik Ambon 1999-2022. 

    “Tidak boleh terjadi lagi, semua saudara, tidak ada yang menang atau kalah. Harus diwaspadai bersama dan setiap konflik pastinya harus ada solusi,” pungkasnya. (Adv)