Reporter: Siswandi | Editor: Buniyamin
SANGATTA – Sejumlah sopir Angkutan Kota Dalam Provinsi (AKDP) di Terminal Tipe B, Jalan Poros Sangatta-Bontang, Kabupaten Kutai Timur (Kutim), Kalimantan Timur (Kaltim) mengeluhkan kesulitan mendapatkan solar bersubsidi di SPBU sekitar wilayah Sangatta, terutama SPBU depan Sangatta Town Center (STC) dan APT Pranoto Sangatta.
Anca, sopir AKDP yang sudah 15 tahun melayani rute antarkabupaten mengungkapkan keresahannya saat ditemui di Terminal III Sangatta.
Ia menyebut pengisian BBM jenis solar kini tak lagi normal. Para sopir angkutan umum bahkan sering harus gigit jari karena kehabisan jatah.
“Coba bayangkan, kalau kami enggak dapat solar dari Samarinda, kami terpaksa cari ke STC atau ke Kilometer (Km) 1. Kalau ke Km 1 masih mending bisa antre, tapi kalau ke STC itu harus pakai kupon dan kuponnya dibayar cuma buat dapat nomor antrean, itu pun sering kehabisan,” ujar Anca.
Ia menilai sistem pembagian BBM subsidi di SPBU cenderung tidak berpihak pada angkutan umum. Ironinya yang menguasai antrean adalah oknum-oknum ‘Penunggu’ SPBU, seperti mobil ekspedisi atau penampung.
“Sehari-hari jagain SPBU itu yang malah kuasai solar. Kami yang benar-benar bawa penumpang umum, kadang antre berhari-hari enggak dapat juga. Selama saya nyopir, enggak pernah mengalami pengisian yang benar-benar normal,” ungkapnya.
Anca berharap pihak terkait dan pengelola SPBU memberikan prioritas bagi kendaraan plat kuning yang melayani kebutuhan masyarakat, bukan sekadar berdasarkan jenis plat.
“Harusnya angkutan umum plat kuning diprioritaskan. Tapi jangan semua plat kuning juga, karena ada juga yang plat kuning tapi angkutan wisata, seperti Cendana. Mereka itu tarifnya bisa Rp500 ribu sekali jalan ke Balikpapan, sedangkan kami cuma Rp55.000 sampai Rp70.000,” paparnya.
Karena sulitnya akses solar bersubsidi, tak sedikit sopir akhirnya membeli BBM di pengecer dengan harga dua kali lipat dari harga normal.
“Kalau udah enggak dapat di pom, kami beli eceran, bisa Rp12.000 sampai Rp13.000 per liter. Sedangkan di SPBU cuma Rp6.800. Tekor kita, Bang. Bahkan kadang harus minta tambahan solar dari penumpung, nambah lagi Rp10 ribu atau Rp20 ribu baru bisa jalan,” bebernya.
Kondisi itu, kata Anca, membuat para sopir AKDP kesulitan bertahan. Terlebih mayoritas dari mereka bekerja dengan sistem kontrak atau bagi hasil, bukan gaji tetap.
“Kami ini swasta. Ada yang sistem kontrak, ada juga yang cuma dapat persenan dari jumlah penumpang. Jadi kalau solar mahal dan susah dicari, ya kami yang rugi. Bukan enggak mau jalan, tapi dari berangkat sudah tekor,” pungkasnya.