Logo
Pusaran Dewan Pers
Iklan

KRUS Dijarah Tambang Ilegal, Deni Hakim Anwar: Kami Sangat Mengutuk Kejadian Ini

Penambangan ilegal yang merambah kawasan Hutan Pendidikan Universitas Mulawarman (Unmul). (Foto: FH Unmul)

BERITA TERKAIT

    Kalimantan Timur

    KRUS Dijarah Tambang Ilegal, Deni Hakim Anwar: Kami Sangat Mengutuk Kejadian Ini

    PusaranMedia.com

    Penambangan ilegal yang merambah kawasan Hutan Pendidikan Universitas Mulawarman (Unmul). (Foto: FH Unmul)

    KRUS Dijarah Tambang Ilegal, Deni Hakim Anwar: Kami Sangat Mengutuk Kejadian Ini

    Penambangan ilegal yang merambah kawasan Hutan Pendidikan Universitas Mulawarman (Unmul). (Foto: FH Unmul)

    Reporter: Ayu Norwahliyah | Editor: Bambang Irawan

    SAMARINDA – Aktivitas tambang batu bara ilegal kembali menjadi ancaman bagi kawasan konservasi Kebun Raya Unmul Samarinda (KRUS), yang juga dikenal sebagai Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK), di Tanah Merah, Kecamatan Samarinda Utara.

    Ketua Komisi III DPRD Samarinda, Deni Hakim Anwar menyampaikan kecaman keras atas dugaan pengerukan di kawasan hutan pendidikan tersebut.

    “Kami sangat tidak senang, sangat mengutuk kejadian ini. Kawasan yang seharusnya menjadi hutan observasi untuk kegiatan pendidikan, ternyata dijarah untuk tambang ilegal,” tegas Deni saat dikonfirmasi, Selasa (8/4/2025).

    KRUS selama ini berfungsi sebagai laboratorium alam bagi akademisi dan mahasiswa Universitas Mulawarman. Namun kawasan tersebut diduga menjadi lokasi aktivitas tambang ilegal pada 4 hingga 5 April 2025.

    Dugaan ini mencuat setelah mahasiswa Fakultas Kehutanan melakukan pemantauan udara menggunakan drone, yang mengungkap keberadaan lima ekskavator tengah membuka lahan dan melakukan pengerukan batu bara di area tersebut.

    KRUS awalnya memiliki luas sekitar 300 hektare. Namun, sejak 2001, kawasan ini telah kehilangan sekitar 62 hektare. Dugaan penambangan terbaru memperkuat kekhawatiran akan kelangsungan fungsi konservasi dan pendidikan di kawasan itu.

    “Kami juga belum tahu itu berbatasan dengan tambangnya siapa dan perusahaan apa. Kita belum cek lapangan. Apalagi itu infonya seluas 300 hektare,” imbuhnya.

    Jika aktivitas tersebut terbukti ilegal, Deni menegaskan bahwa penanganannya menjadi kewenangan Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum KLHK) serta Inspektur Tambang dari pemerintah pusat.

    “Info terakhir mereka sudah turun lapangan dan pernah bersurat untuk kerja sama, tapi kita belum tahu perusahaan mana yang terlibat dan itu masuk konsesi siapa,” katanya.

    Politikus Partai Gerindra itu turut menyoroti lemahnya pengawasan pertambangan di daerah, yang disebabkan oleh sentralisasi kewenangan perizinan di tingkat pusat. 

    Keterbatasan jumlah inspektur tambang, terutama di Kalimantan Timur (Kaltim), disebut menjadi faktor penghambat pengawasan yang efektif.

    “Apalagi jumlah inspektur tambang yang terbatas dengan banyaknya tambang di Kaltim membuat pengawasan tidak maksimal,” tambahnya.

    Oleh karena itu, Komisi III DPRD Samarinda mendorong adanya perbaikan sistem pengawasan yang memungkinkan pemerintah daerah ikut terlibat secara langsung dalam memantau aktivitas pertambangan. 

    Ia menegaskan bahwa dampak lingkungan dari kegiatan tambang tidak bisa hanya dibebankan pada pemerintah pusat.

    “Setidaknya daerah juga diberi kewenangan untuk memantau kondisi alam sementara daerah tidak punya wewenang apa pun, padahal nanti yang menanggung akibatnya adalah daerah,” ujarnya.

    Deni juga menyoroti ketimpangan antara besarnya kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dengan jaminan reklamasi yang tersedia saat ini.

    “Void yang ditimbulkan tidak sebanding dengan jumlah yang menjadi jaminan reklamasi kita,” tutupnya.