Reporter : Nur Hidayah | Editor : Lodya Astagina
TANJUNG REDEB – Kurang dari lima bulan di 2025 sudah 14 kebakaran melanda kawasan Kota Tanjung Redeb.
Data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Berau mencatat sekitar 300 jiwa menjadi korban, Jumat (25/4/2025).
Kondisi ini menuai keprihatinan mendalam dari Nofian Hidayat, Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD Berau. Ia menilai, lambannya penanganan kebakaran tak lepas dari absennya infrastruktur penting, hydrant.
"Setiap kali kami tiba di lokasi, kami dihadapkan pada tantangan yang sama tidak ada sumber air terdekat. Mobil pemadam harus bolak-balik mengisi air, bahkan sampai ke tepian. Padahal dalam penanganan kebakaran, setiap menit sangat berarti. Ini bukan hanya soal bangunan, ini soal nyawa," tegas Nofian.
Sejak tahun 2020, BPBD Berau sebenarnya telah menyusun blueprint pengurangan risiko kebakaran yang salah satu poin utamanya adalah pemasangan hydrant di setiap simpang jalan utama, khususnya di kawasan padat penduduk Tanjung Redeb. Fasilitas ini dirancang untuk terhubung langsung dengan jaringan PDAM, guna mempersingkat waktu respons petugas.
Namun hingga kini usulan tersebut belum mendapatkan lampu hijau dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Berau. Sementara itu wilayah perkotaan yang menjadi pusat aktivitas justru terus menjadi langganan kebakaran.
"Kami sudah punya rencana. Tapi kalau tidak ada political will dari pemerintah daerah, kami hanya bisa terus menunggu sambil berjaga di tengah keterbatasan," ujarnya.
Menurut Nofian, keberadaan hydrant di tengah kota bukan sekadar pelengkap infrastruktur, melainkan wujud nyata dari kesiapsiagaan dan perlindungan terhadap masyarakat. Ironisnya, hydrant justru hanya terpasang di kecamatan-kecamatan pinggiran seperti Sambaliung, Teluk Bayur dan Gunung Tabur, hasil pengajuan ke Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalimantan Timur (Kaltim).
"Pusat kota seperti Tanjung Redeb tidak tersentuh, karena pemprov hanya bisa membiayai kawasan kumuh di atas 10 Hektare (Ha). Tanjung Redeb tidak termasuk kategori itu. Ini sepenuhnya tanggung jawab Pemkab Berau," imbuhnya.
Dalam konteks regulasi, kewajiban pemerintah daerah menyediakan sarana dan prasarana penanggulangan kebakaran diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya pada Lampiran Pembagian Urusan Pemerintahan Konkuren yang menyatakan penyelenggaraan kebakaran termasuk urusan wajib pelayanan dasar.
Lebih rinci, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 114 Tahun 2018 tentang Standar Teknis Pelayanan Dasar pada Standar Pelayanan Minimal Sub Urusan Kebakaran menyebutkan penyediaan fasilitas seperti hydrant merupakan bagian dari kewajiban minimum pemerintah daerah.
Namun faktanya hingga hari ini tidak ada satu pun hydrant berdiri di permukiman padat seperti Jalan Milono yang berulang kali dilanda kebakaran.
Sementara itu, Kepala Bidang Kawasan Permukiman Disperkim Berau membenarkan bahwa enam unit hydrant telah dipasang sejak 2024, tapi seluruhnya berada di kawasan non-perkotaan.
"Hydrant itu hanya ada di wilayah yang masuk dalam kategori kawasan kumuh berdasarkan regulasi provinsi dan Tanjung Redeb tidak memenuhi kriteria itu, sehingga tidak masuk program provinsi," jelasnya.
Padahal, kebakaran tidak memilih tempat atau waktu, di tengah kota yang kian padat dan kompleks, kecepatan respons adalah segalanya. Hydrant bukan sekadar pipa dan katup ia adalah garis terdepan pertahanan warga.