Logo
Pusaran Dewan Pers
Iklan

Pencemaran Nama Baik dalam UU ITE Tak Berlaku Bagi Pemerintah 

Screenshot momen sidang pembacaan putusan (Foto: youtube Mahkamah Konstitusi RI)

BERITA TERKAIT

    Kalimantan Timur

    Pencemaran Nama Baik dalam UU ITE Tak Berlaku Bagi Pemerintah 

    PusaranMedia.com

    Screenshot momen sidang pembacaan putusan (Foto: youtube Mahkamah Konstitusi RI)

    Pencemaran Nama Baik dalam UU ITE Tak Berlaku Bagi Pemerintah 

    Screenshot momen sidang pembacaan putusan (Foto: youtube Mahkamah Konstitusi RI)

    Reporter: Aswin | Editor: Buniyamin

    TENGGARONG - Mahkamah Konstitusi (MK) mengggelar sidang pembacaan putusan gugatan uji materi pasal menyerang kehormatan atau nama baik yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dikecualikan untuk lembaga pemerintah hingga sekelompok orang dengan identitas spesifik, Selasa (29/4/2025).

    Sebagai informasi permohonan uji materi ini diajukan oleh Daniel Frits Maurits Tangkilisan, aktivis lingkungan Koalisi Kawal Indonesia Lestari (Kawali) yang pernah divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Jepara karena konten video kritiknya atas kondisi tambak di Karimunjawa, Jawa Tengah.

    Ia kemudian dilepaskan oleh Pengadilan Tinggi Semarang.

    Dalam putusannya, MK menyatakan pasal menyerang kehormatan atau nama baik yang diatur dalam UU ITE dikecualikan untuk lembaga pemerintah hingga sekelompok orang dengan identitas spesifik.

    “Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar Putusan Nomor 105/PUU-XXII/2024. 

    Dalam putusannya MK menyatakan frasa "orang lain" dalam Pasal 27A dan Pasal 45 ayat (4) UU ITE bertentangan dengan UUD NKRI Tahun 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai "Kecuali lembaga pemerintah, sekelompok orang dengan identitas spesifik atau tertentu, institusi, korporasi, profesi atau jabatan."

    Pasal 27A UU ITE mengatur perbuatan yang dilarang dalam kegiatan terkait ITE. Pasal tersebut pada mulanya berbunyi bahwa setiap orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, maksudnya supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dilakukan melalui sistem elektronik.

    Sementara itu, Pasal 45 ayat (4) UU ITE berisi tentang ketentuan pidana atas Pasal 27A. Pasal tersebut mengatur setiap orang yang melanggar Pasal 27A UU ITE dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau denda paling banyak Rp400 juta.

    Dalam pertimbangan hukum, MK menyatakan terdapat ketidakjelasan batasan frasa 'orang lain' dalam Pasal 27A UU ITE sehingga norma pasal tersebut rentan untuk disalahgunakan. Padahal, Pasal 433 ayat (1) KUHP 2023 yang mulai berlaku pada 2026, juga sama-sama menggunakan frasa "orang lain" untuk merujuk pada korban pencemaran nama baik.

    Merujuk pada Pasal 433 ayat (1) KUHP 2023, sejatinya telah ditentukan pihak yang tidak bisa menjadi korban dari tindak pidana pencemaran nama baik, yaitu lembaga pemerintah atau sekelompok orang.

    Di sisi lain, ketentuan Pasal 27A UU ITE juga berkaitan dengan Pasal 45 ayat (7) UU ITE yang menyatakan bahwa perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik tidak dapat dipidana jika perbuatan tersebut dilakukan untuk kepentingan umum atau karena terpaksa membela diri.

    Kepentingan umum tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam bagian penjelasan Pasal 45 ayat (7) UU ITE, adalah dalam rangka melindungi kepentingan masyarakat yang diungkapkan melalui hak berekspresi dan berdemokrasi seperti unjuk rasa atau kritik.

    Menurut Mahkamah, dalam negara demokrasi, kritik menjadi hal penting sebagai bagian dari kebebasan berekspresi yang sedapat mungkin bersifat konstruktif, meski mengandung ketidaksetujuan terhadap perbuatan atau tindakan orang lain.

    Pada dasarnya, menurut MK, Pasal 27A UU ITE merupakan bentuk pengawasan, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat.

    Artinya terhadap kritik yang konstruktif, dalam hal ini terhadap kebijakan pemerintah untuk kepentingan masyarakat, merupakan hal yang penting sebagai sarana penyeimbang atau kontrol publik yang justru harus dijamin dalam negara hukum yang demokratis.

    "Terbelenggunya hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, justru akan mengikis fungsi kontrol atau pengawasan yang merupakan keniscayaan agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan, abuse of power, dalam penyelenggaraan pemerintahan," ucap Hakim Konstitusi Arief Hidayat membacakan pertimbangan Mahkamah.

    Mahkamah menegaskan bahwa Pasal 27A dan kaitannya dengan Pasal 45 ayat (5) UU ITE merupakan tindak pidana dengan delik aduan. Hal ini berarti tindakan tersebut dapat dituntut atas pengaduan korban atau orang yang terkena tindak pidana atau yang dicemarkan nama baiknya.

    "Dalam kaitan ini, menurut Mahkamah, agar tidak terjadi kesewenang-wenangan aparat penegak hukum dalam menerapkan frasa orang lain Pasal 27A UU ITE, maka penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa yang dimaksud frasa orang lain adalah individu atau perseorangan," ucap Arief.

    Oleh karena itu, dikecualikan dari ketentuan Pasal 27A UU ITE apabila yang menjadi korban pencemaran nama baik bukan individu atau perseorangan, melainkan lembaga pemerintah, sekelompok orang dengan identitas yang spesifik atau tertentu, institusi, korporasi, profesi atau jabatan.