Reporter: Diansyah | Editor: Bambang Irawan
NUNUKAN - Di sudut paling terpencil dari Kabupaten Nunukan, di hamparan pegunungan hijau yang memisahkan Indonesia dari Malaysia, hidup masyarakat Krayan Timur yang teguh dalam kesunyian.
Kampung-kampungnya terpisah hutan lebat, sungai deras dan jarak yang menantang logika pembangunan modern. Salah satunya adalah Wa Yagung, tempat yang begitu terisolasi hingga suara harapan pun terdengar sayup.
Bagi masyarakat Pa Rayeh, Wa Yagung bukan sekadar tetangga. Ia adalah bagian dari jaringan sosial dan budaya yang sejak lama terjalin. Namun jarak yang memisahkan begitu menyulitkan untuk menjangkaunya, warga harus menempuh jalur memutar melalui Long Umung dengan waktu tempuh yang bisa mencapai lebih dari satu hari perjalanan kaki.
Lelah akan keterasingan, warga pun mengambil langkah nyata. Kamis pagi, 24 April 2025, puluhan warga memulai perjalanan berat, merintis jalan baru menuju Wa Yagung. Bukan dengan alat berat, bukan dengan dana dari program besar, melainkan dengan tenaga sendiri, alat seadanya dan tekad yang tidak tergoyahkan.
“Kalau bukan kami yang buka jalan ini, siapa lagi? Kami sudah terlalu lama menunggu,” ujar warga Krayan Timur Ber Nat saat membagikan kisahnya di sosial media.
Hari itu, mereka menyusuri hutan lebat dengan parang, cangkul dan beberapa bekal makanan yang dibungkus daun. Jalur yang mereka tempuh belum pernah dilalui kendaraan. Semak-semak harus ditebas, akar pohon besar diangkat dan tanah liat yang licin membuat setiap langkah menjadi taruhan.
Malam hari, mereka tidur di atas tanah, berselimut udara dingin pegunungan. Satu dua dari mereka mengeluh kelelahan, namun semangat tetap menyala. Mereka tahu, apa yang mereka lakukan bukan untuk mereka sendiri, melainkan untuk generasi yang akan datang.
Namun di tengah perjalanan, musibah datang tanpa diduga. Seorang dari mereka, yang dikenal sebagai R, tiba-tiba jatuh sakit.
Gejalanya muncul dengan cepat, demam tinggi, tubuh menggigil dan napas tersengal. Mereka tidak tahu pasti apa penyebabnya. Tidak ada dokter, tidak ada sinyal untuk memanggil bantuan. Yang ada hanya hutan dan waktu yang kian menipis.
“Kami tidak bisa tinggalkan dia. Kami tahu, kalau tidak segera ditolong, nyawanya bisa melayang,” kata Ber Nat, mengenang detik-detik penuh kecemasan.
Lima orang rekannya segera mengambil keputusan genting. Mereka membuat tandu darurat dari kayu dan sarung seadanya. Dengan kekuatan terbatas, mereka mulai perjalanan pulang ke Pa Rayeh, sebuah perjalanan yang jauh lebih berat karena harus membawa tubuh tak berdaya di atas medan yang curam dan licin.
Butuh waktu hampir sehari untuk sampai kembali ke kampung. Setibanya di Pa Rayeh, mobil desa langsung dikerahkan untuk membawa R ke Long Bawan, satu-satunya pusat layanan kesehatan di kawasan itu. Jarak puluhan kilometer itu mereka tempuh secepat mungkin. Namun harapan mereka pupus.
Setibanya di Pusat Kesehatan Masyarakat (PKM) Long Bawan, R mengembuskan napas terakhir. Tangis pecah di Pa Rayeh. R bukan hanya warga biasa. Ia seorang ayah dari dua anak kecil. Seorang suami yang dikenal rajin dan baik hati. Seorang warga yang ikut menyumbang tenaga demi cita-cita bersama demi keterhubungan antar kampung.
"Anak-anaknya masih kecil. Kami tidak tahu harus bilang apa kepada mereka,” kata Ber Nat.
Kematian R menyisakan lebih dari duka. Ia memantik pertanyaan besar, mengapa masih ada wilayah Indonesia yang terisolasi begitu rupa hingga nyawa menjadi taruhan untuk sekadar membuka jalan?
Pemerintah telah berbicara banyak tentang pembangunan dari pinggiran, tentang keadilan sosial dan tentang konektivitas. Namun di Krayan Timur, semua itu masih terasa sebagai janji yang menggantung di udara.
“Kami warga perbatasan ini tidak minta banyak. Kami tidak perlu jalan mulus seperti di kota. Kami hanya butuh akses yang layak supaya kami bisa hidup seperti warga negara lainnya,” tegas Ber Nat.
Meski duka belum reda, warga Pa Rayeh tetap melanjutkan perjuangan. Jalan menuju Wa Yagung belum selesai, tapi langkah-langkah mereka tak surut. Bagi mereka, perjuangan membuka jalan bukan hanya soal fisik, tapi juga soal martabat.
Mereka ingin anak-anak bisa ke sekolah tanpa harus menyeberangi sungai berjam-jam. Mereka ingin ibu hamil bisa dirawat dengan layak. Mereka ingin orang sakit bisa diselamatkan, seperti seharusnya.
"Kami harap pemerintah mendengar. Lihatlah kami. Jangan biarkan pengorbanan R menjadi sia-sia,” tutup Ber Nat.