Logo
Pusaran Dewan Pers
Iklan

Begini Curhatan Pedagang Pasar Subuh Samarinda yang Tolak Relokasi, Meski Dapat Lapak Gratis

Pedagang Pasar Subuh, Yeni yang juga menolak direlokasi, Minggu (4/5/2025). (Foto: Tri/Pusaranmedia.com)

BERITA TERKAIT

    Kalimantan Timur

    Begini Curhatan Pedagang Pasar Subuh Samarinda yang Tolak Relokasi, Meski Dapat Lapak Gratis

    PusaranMedia.com

    Pedagang Pasar Subuh, Yeni yang juga menolak direlokasi, Minggu (4/5/2025). (Foto: Tri/Pusaranmedia.com)

    Begini Curhatan Pedagang Pasar Subuh Samarinda yang Tolak Relokasi, Meski Dapat Lapak Gratis

    Pedagang Pasar Subuh, Yeni yang juga menolak direlokasi, Minggu (4/5/2025). (Foto: Tri/Pusaranmedia.com)

    Reporter: Tri Agustini | Editor: Buniyamin 

    SAMARINDA - Lebih dari lima dekade keluarga Yeni mengais rezeki di Pasar Subuh, kawasan yang dulunya dikenal sebagai Pasar Cina di Kota Samarinda, Kalimantan Timur (Kaltim).

    Dari sang ayah yang dulu hanya menjajakan kue, hingga kini beralih menjual buah, pasar tersebut telah menjadi nadi kehidupan keluarga Yeni.

    Tapi kini, pasar yang telah bertahan sejak generasi ke generasi itu terancam tergusur oleh kebijakan Pemerintah Kota (Pemkot) Samarinda.

    Sebagaimana diketahui, Pemkot Samarinda bakal merelokasi pedagang Pasar Subuh ke Pasar Beluluq Lingau yang berada di Jalan PM Noor, Samarinda Utara. 

    “Kalau dihitung dari zaman orang tua saya, sudah lebih dari 50 tahun kami berjualan di sini (Pasa Subuh),” tutur Yeni, Minggu (4/5/2025).  Rencana relokasi oleh pemkot, kata dia, membuat banyak pedagang resah.

    Bukan hanya soal kehilangan tempat berjualan, tapi juga karena alasan yang dinilai kurang transparan, meski Pemkot Samarinda telah menyediakan lapak gratis dan tak pungut retribusi sementara waktu. 

    “Kami belum diberi alasan praktis. Katanya hanya soal penataan kota, tapi tidak ada sosialisasi yang jelas. Tempat ini malah mau dijadikan ikon,” kata Yeni.

    Ia menilai jika memang pemerintah ingin menjadikan wilayah itu sebagai bagian dari konsep kawasan pecinan, maka mestinya dilestarikan dan bukan dihapus. “Kalau dihilangkan begitu saja, sejarahnya juga hilang. Padahal ini bagian dari wajah kota,” tambahnya.

    Yeni dan para pedagang lainnya mengaku tidak pernah merasa liar atau ilegal. Sebab mereka memiliki kartu pedagang dan rutin membayar sewa lapak, sekitar Rp1 juta per tiga bulan untuk pedagang sayur dan Rp1,5 juta untuk pedagang daging yang diberikan ke pemilik lahan. 

    Dari 57 pedagang aktif di pasar itu, sebagian besar memiliki legalitas yang sama. “Kami bukan ilegal, kami punya kartu dagang dan ada kwitansi pembayaran. Kartu itu juga dikeluarkan pemkot sendiri," ujarnya.

    Baginya, Pasar Subuh bukan sekadar tempat jual beli, melainkan telah menjadi bagian ruang hidup, warisan dan bagian dari denyut ekonomi masyarakat kecil. 

    Meski telah diberi tenggat waktu oleh Pemkot Samarinda, Yeni bersama pedagang yang lain tetap bersikukuh mempertahankan tempat itu untuk berjualan. 

    “Kalau digusur demi proyek besar, kok rasanya egois banget. Kami ini rakyat kecil, apa tidak bisa dihargai?" pungkasnya.