Reporter: Tri Agustini | Editor: Bambang Irawan
SAMARINDA - Media sosial yang awalnya menjadi ruang menyenangkan untuk berbagi kini berubah menjadi ajang adu argumen bagi sebagian orang.
Perdebatan tajam sering kali muncul akibat penyebaran informasi tak lengkap yang menimbulkan interpretasi liar dan reaksi emosional publik.
Kasus terbaru yang kembali menyita perhatian publik adalah video potongan pernyataan Wali Kota Samarinda, Andi Harun saat menegur pemilik kafe di kawasan Citra Niaga beberapa waktu lalu.
Potongan video itu menyebar luas di medsos dan memicu berbagai narasi yang dinilai tidak mencerminkan kejadian sebenarnya di lapangan.
Pengamat Komunikasi Universitas Mulawarman (Unmul), Nurliah, menilai kasus ini sebagai gambaran pentingnya sensitivitas komunikasi pejabat publik di era digital.
Ia menyebut, pernyataan yang disampaikan seorang pejabat haruslah mempertimbangkan persepsi publik.
“Apapun yang ditampilkan seorang komunikator publik harus memenuhi keinginan publiknya. Kalau tidak, ya akan dianggap tidak sesuai ekspektasi,” ujar Nurliah, Rabu (14/5/2025).
Idealnya, kata dia, pemimpin harus memahami apa yang menjadi kebutuhan masyarakat sebelum pesan itu disampaikan.
Komunikasi yang berbasis riset dan pengamatan terhadap isu juga menurutnya menjadi kunci untuk mencegah reaksi negatif publik.
Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Unmul ini juga turut membeberkan tentang pengaruh akun-akun digital yang kerap menyebarkan informasi tidak lengkap atau membangun narasi sepihak.
Kondisi ini menurutnya bisa menggerus kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah jika tidak direspons dengan bijak.
“Ketika sudah menjadi tokoh publik, maka harus siap dengan segala reaksi. Karena kita tidak bisa menyenangkan semua orang,” tuturnya.
Di tengah arus informasi lewat media digital yang tak terbendung saat ini, Nurliah mengingatkan pentingnya kecerdasan dalam memilih media yang bisa dipercaya agar tak terjebak disinformasi.
Ia menyebut, masyarakat harus bisa memilih media yang dipercaya dengan beberapa pertimbangan untuk meminimalisasi kemungkinan informasi tidak benar yang didapatkan.
“Kita hanya bisa percaya media yang memiliki kode etik, proses newsroom dan ada agenda setting-nya. Sehingga ada verifikasi berita. Itu lah yang harus dipercaya. Pintar milih media yang harus dia percaya,” pungkasnya.