Logo
Pusaran Dewan Pers
Iklan
Banner ADV

Anggaran Pendidikan di APBD Besar, Tapi Sekolah Masih Kekurangan Toilet dan Ruang Kelas

Salah satu SDN minim fasilitas. (Foto: Nur Hidayah/Pusaranmedia.com)

BERITA TERKAIT

    Banner ADV

    DPRD Kabupaten Berau

    Anggaran Pendidikan di APBD Besar, Tapi Sekolah Masih Kekurangan Toilet dan Ruang Kelas

    PusaranMedia.com

    Salah satu SDN minim fasilitas. (Foto: Nur Hidayah/Pusaranmedia.com)

    Banner ADV

    Anggaran Pendidikan di APBD Besar, Tapi Sekolah Masih Kekurangan Toilet dan Ruang Kelas

    Salah satu SDN minim fasilitas. (Foto: Nur Hidayah/Pusaranmedia.com)

    Reporter: Nur Hidayah | Editor: Bambang Irawan

    TANJUNG REDEB – Anggota Komisi I DPRD Berau, Frans Lewi, angkat bicara soal kondisi sekolah yang rusak akibat banjir serta minimnya sarana dan prasarana pendidikan di daerah pesisir. 

    Ia menyebut, kondisi tersebut sangat memprihatinkan dan perlu mendapat perhatian serius dari Dinas Pendidikan (Disdik) Berau.

    “Kami sudah melakukan rapat bersama Disdik sekitar seminggu yang lalu. Dari reses saya ke daerah pesisir, hampir semua sekolah mengeluhkan kekurangan ruang kelas, perpustakaan, ruang guru, bahkan toilet,” ujarnya, Minggu (18/5/2025).

    Ia menambahkan, ada sekolah yang mengalami kerusakan hingga 80 persen akibat banjir, namun respon anggaran dari Dinas Pendidikan masih minim dan belum menyentuh kebutuhan mendesak tersebut.

    Frans pun menyoroti tingginya anggaran Disdik yang justru tidak terserap secara maksimal. Dalam laporan pertanggungjawaban Bupati tahun 2024 tercatat Dinas Pendidikan memiliki sisa lebih penggunaan anggaran (SilPA) hingga Rp62 miliar lebih.

    “Ini sangat disayangkan, apalagi anggaran pendidikan dari APBD 2025  mencapai Rp1,3 triliun dari total APBD sebesar Rp6,9 triliun. Tapi faktanya, yang baru terserap hanya sekitar Rp600 miliar. Ironisnya, masih banyak sekolah yang kekurangan fasilitas,” tegasnya.

    Menurut penjelasan Disdik, ucap Frans, SilPA besar itu terjadi akibat pengalihan status tenaga honorer ke P3K, yang menyebabkan dana gaji tak bisa digunakan sebagaimana mestinya. Namun ia menilai hal itu tidak bisa dijadikan alasan untuk membiarkan banyak sekolah dalam kondisi memprihatinkan.

    Ia pun berkomitmen untuk terus mengawal dan memperjuangkan aspirasi masyarakat, khususnya di kampung halamannya di Lenggo. Salah satu sekolah di sana masih memiliki bangunan kayu peninggalan tahun 1970-an, dengan hanya dua ruang kelas yang masih berdiri.

    “Sekolah itu belum juga teranggarkan di 2025. Saya akan perjuangkan agar 2026 bisa masuk dalam skema pembangunan. Jangan sampai yang disuarakan masyarakat tidak masuk program, tapi anggaran justru dialihkan ke kegiatan yang tidak menyentuh langsung kebutuhan warga,” pungkasnya. (Adv)