Reporter: Tri Agustini | Editor: Bambang Irawan
SAMARINDA - Forum diskusi Sumbu Tengah hadir sebagai ruang alternatif yang memungkinkan para pembicara lintas bidang menyampaikan gagasan kritis dan tak populer tanpa seremoni atau gimik literasi.
Kegiatan ini digelar di Perpustakaan Kota Samarinda, Rabu (28/5/2025), dengan menghadirkan 10 pembicara dari berbagai latar belakang.
Sumbu Tengah sendiri merupakan akronim dari Solidaritas Usaha Membina Budaya Ucap, Tulis, Ekspresi, Nalar, Gagasan, Ajaran dan Hikmah yang digagas oleh Rusdianto.
Edisi perdananya digelar secara terbatas, dengan peserta yang telah berkomitmen untuk tidak merekam dan menyebarluaskan isi forum, kecuali konten resmi yang telah melalui proses penyuntingan oleh panitia.
Kegiatan diskusi yang mengusung prinsip egaliter ini mengungkap fakta yang tak banyak diketahui publik.
Dikemukakan juga opini yang menurut sebagian orang tidak populer. Namun, forum menyadari bahwa kebebasan berbicara di negeri ini masih dibatasi oleh hukum negara seperti UU ITE.
Rusdianto selaku inisiator memulai dengan pembacaan puisi yang bermuatan satire terhadap tulisan-tulisan yang diklaim sebagai sastra.
Krisdiyanto selaku pedagang sembako mengungkap, jika harga barang kebutuhan pokok naik, yang paling diuntungkan justru negara, karena nominal pajak juga meningkat.
Seniman tari, teater, dan film Briza Meidina menyesalkan stereotipe yang negatif dari sebagian orang terhadap pekerja seni bidang tari.
“Pelecehan seksual juga sering terjadi dalam interaksi di dunia kesenian dan sinema. Makanya kalau kami reading naskah, ada teks yang berbunyi stop kekerasan dan pelecehan seksual,” ungkap Putri Tari Indonesia Kalimantan Timur 2023 itu.
Maulani, Pemred KPFM Samarinda yang sedang menyelesaikan studi S-2 Ilmu Komunikasi di UMB Jakarta membagikan pengalamannya dalam menekuni hobi membaca hingga tertarik bekerja di media pers.
Fatih, jurnalis Kaltimkece, menyatakan bahwa tugas karya jurnalistik dan seni adalah membuat orang ragu sehingga orang akan berpikir.
Refinaya dari Perempuan Mahardhika Samarinda menyebut, pembelaannya terhadap kaum tertindas berlaku universal, meskipun advokasi terhadap hak perempuan juga masih kurang.
“Kami juga membela Palestina karena hak kemerdekaan tidak memandang apa suku, ras, dan agamanya,” ujar mahasiswa Hubungan Internasional FISIP Unmul itu.
Sementara itu, Fajar Alam yang juga ketua Prodi Teknik Geologi UMKT Samarinda mengemukakan hipotesis bahwa Kerajaan Kutai Kertanegara memindahkan ibu kota dari Kutai Lama ke Jembayan, tidak ke Samarinda, merupakan hal yang visioner.
“Boleh jadi ada pertimbangan geologis bahwa daratan Samarinda memang selalu terendam air pasang, sehingga tidak cocok didirikan pusat kerajaan,” kata Ketua Lasaloka-KSB tersebut.
Pembicara berikutnya, Gibraltar mereview buku novel berbahasa Inggris berjudul 1984 karya George Orwell.
“Quote dari buku ini, kebodohan adalah kekuatan. Buku ini tidak ingin masyarakat menjadi pintar. Untungnya buku ini dijual di Indonesia. Kalau tidak, negara kita akan satu deret dengan Korea Utara yang melarang peredaran buku ini,” papar Gibral.
Surya koordinator Gusdurian Samarinda menyoroti semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang masih tidak terealisasi, terkait kasus aktual pembangunan sebuah tempat ibadah di Samarinda.
“Literasi masih menjadi persoalan karena ada sebagian orang yang berpikir bahwa perbedaan bukan rahmat, tetapi perbedaan itu harus diberantas,” sebut Surya.
Pembicara terakhir, Sarip mengemukakan, forum ini memberikan ruang bicara kepada person yang ingin berpendapat secara jujur tanpa gimik dan seremoni atas nama literasi.
Dengan pasal kontroversial dalam UU ITE, sebagian materi diskusi disepakati merupakan hal yang yang tidak dapat dipublikasikan atau “off the record”.
Nantinya, materi dari forum ini akan terbitkan menjadi buku supaya manfaatnya juga dapat diakses publik secara luas.