Reporter: Aswin | Editor: Bambang Irawan
TENGGARONG – Penggiat budaya Kutai Kartanegara (Kukar), Awang M. Rifani, menyebut nasi bekepor sebagai seni memasak tradisional yang sarat dengan simbol-simbol persaudaraan.
"Nasi bekepor itu adalah tradisi seni memasak orang Kutai di zaman dulu ketika belum ada alat-alat elektronik seperti yang kita kenal sekarang," ujarnya.
Pernyataan itu disampaikan saat dia menjadi juri dalam perlombaan memasak nasi bekepor pada Festival Nasi Bekepor ke-IV yang diselenggarakan oleh Universitas Kutai Kartanegara (Unikarta), Senin (16/6/2025).
"Apa yang kita lakukan sekarang merupakan usaha untuk melestarikan tradisi itu karena sebenarnya nasi bekepor ini adalah teknik memasak yang dalam proses memasak nasi itu masih tradisional," pungkasnya.
Awang menekankan proses memasak nasi bekepor mengandung banyak simbol tentang persaudaraan, persatuan, dan ikatan keluarga yang menjadi ciri khas dari tradisi ini.
Biasanya, setiap keluarga memiliki periuk (panci) atau kenceng dalam sebutan bahasa Kutai. Kenceng ini mencerminkan jumlah anggota keluarga yang diberi makan. "Semakin besar kenceng-nya atau periuknya, semakin banyak anggota keluarganya. Itu juga menjadi simbol sosial keluarga tersebut dalam masyarakat," lanjutnya.
Ia juga menjelaskan bahwa dalam proses memasak nasi bekepor, beras yang telah dicampur air akan dibiarkan mengering dan kemudian “dikepor”. Dikepor atau digeser, berarti kenceng diturunkan dan diletakkan di samping api agar nasi tidak hangus.
"Kalau terus-terusan di atas api, kan nasinya akan hangus. Dengan diletakkan di samping api, ini akan membuat si nasi matang dengan baik dengan cara diputar kenceng-nya secara berkala," jelasnya.
Dalam tradisi ini, penilaian pemenang didasarkan pada jumlah kerak nasi. Makin sedikit kerak yang tertinggal, makin tinggi nilai seni memasaknya. "Kesuksesan si pemasak akan dilihat dari sedikit dan banyaknya kerak nasi. Di situlah letak seni memasaknya," ujarnya.
Awang berharap kegiatan seperti ini tidak hanya dilakukan di Unikarta, tetapi juga bisa dilaksanakan di desa-desa. Ia menegaskan bahwa upaya seperti ini penting sebagai bentuk pelestarian kebudayaan.