Reporter: Siswandi | Editor: Bambang Irawan
SANGATTA – Fraksi Partai Golkar DPRD Kutim memberikan sejumlah catatan kritis terhadap Rancangan Peraturan Daerah tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2024 yang disampaikan oleh Pemerintah Kabupaten Kutim. Hal itu diungkapkan dalam rapat paripurna ke-XLII masa persidangan ke-III tahun sidang 2024/2025, Selasa (1/7/2025).
Wakil Ketua Fraksi Golkar, Kari Palimbong menyampaikan penyampaian nota penjelasan merupakan bagian penting dari pertanggungjawaban fiskal tahunan. Namun ia menekankan bahwa laporan tersebut harus dilihat lebih dari sekadar bentuk administratif.
“Fraksi Partai Golkar memandang bahwa dokumen laporan keuangan ini bukan semata instrumen akuntansi, melainkan perlu dikaji secara kritis sebagai refleksi dari kualitas kebijakan publik, kapasitas tata kelola pemerintahan, dan efektivitas pembangunan,” tegas Kari.
Ia menyoroti struktur pendapatan daerah yang masih sangat bergantung pada dana transfer dari pemerintah pusat. Dari target pendapatan sebesar Rp13,06 triliun, realisasinya hanya mencapai Rp10,44 triliun atau 79,90 persen. Sementara Pendapatan Asli Daerah (PAD) hanya menyumbang Rp532,5 miliar, jauh dibandingkan transfer pusat yang mencapai Rp9,81 triliun.
“Ini menegaskan bahwa struktur pendapatan daerah Kutai Timur sangat sentralistik dan bergantung penuh pada kebijakan fiskal nasional, yang bersifat volatile dan penuh ketidakpastian,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa kondisi ini berbahaya bagi kemandirian fiskal daerah, apalagi di tengah potensi sumber daya alam Kutim yang sangat besar.
Ia juga menyinggung lemahnya optimalisasi potensi lokal, seperti retribusi daerah, pajak daerah, serta kontribusi dari BUMD.
“Realisasi pendapatan transfer lainnya yang hanya 18,30 persen adalah indikasi lemahnya arah kebijakan dan komitmen eksekutif dalam membangun ekonomi daerah berbasis daya saing lokal,” kata Kari.
Fraksi Golkar juga menyoroti orientasi belanja yang dinilai belum produktif. Dari total belanja Rp14,80 triliun, realisasinya hanya Rp12,06 triliun atau 81,51 persen.
Belanja operasional mendominasi dengan realisasi sebesar Rp5,72 triliun atau 83,58 persen dari alokasi Rp6,84 triliun. Menurut Kari, proporsi tersebut menunjukkan bahwa belanja daerah lebih condong menopang birokrasi daripada pembangunan.
“Apakah APBD ini memang didesain untuk pembangunan atau hanya menopang biaya operasional birokrasi?” sindirnya.
Ia melanjutkan bahwa belanja yang didominasi oleh belanja pegawai, barang dan jasa, serta hibah, mencerminkan pengeluaran yang belum menjawab kebutuhan publik secara langsung.
“Pola belanja kita masih berwatak administratif, bukan produktif. Hal ini tentu bertentangan dengan prinsip dasar performance-based budgeting,” tegasnya lagi.
Lebih lanjut, Golkar juga menyoroti belanja modal yang hanya terealisasi 76,34 persen. Rendahnya realisasi ini disebut sebagai indikator lemahnya kapasitas institusi daerah dalam pelaksanaan proyek, mulai dari perencanaan teknis, lelang, hingga monitoring pelaksanaan fisik.
Ia menambahkan bahwa hal ini berdampak pada penundaan kebutuhan publik, rendahnya efek ganda bagi ekonomi lokal, dan tidak nyambungnya antara rencana dan pelaksanaan.
“Kegagalan menyerap anggaran pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan layanan dasar lainnya dalam tahun berjalan akan mengakibatkan penundaan pemenuhan kebutuhan publik serta menurunkan kredibilitas pelaksanaan anggaran,” ungkapnya.
Belanja tidak terduga senilai Rp20 miliar yang tidak direalisasikan sama sekali juga menjadi sorotan. Menurutnya, hal tersebut menunjukkan Pemda tidak memiliki sense of contingency yang kuat. “Absennya realisasi belanja ini memperlihatkan bahwa Pemda tidak memiliki sistem manajemen risiko fiskal yang berfungsi,” kata Kari.
Dalam aspek pembiayaan, Fraksi Golkar menyoroti penerimaan pembiayaan sebesar Rp1,77 triliun yang mayoritas berasal dari Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA) tahun sebelumnya. Kari menegaskan bahwa SILPA bukanlah sebuah capaian.
“SILPA bukan prestasi, tetapi representasi dari anggaran yang tidak berhasil dieksekusi dan menjadi beban fiskal tahun berjalan berikutnya,” jelasnya.
Selain itu, penyertaan modal sebesar Rp35 miliar juga dinilai perlu dievaluasi secara menyeluruh. Ia menyatakan bahwa banyak praktik penyertaan modal yang tidak memiliki dampak ekonomi jelas, minim evaluasi kelayakan, serta belum memberikan kontribusi terhadap PAD.
“Fraksi Golkar mendesak agar penyertaan modal ke BUMD atau lembaga lain disertai dengan audit independen, rencana bisnis yang terukur, dan indikator kinerja yang jelas,” tegasnya.
Terkait neraca aset, ia menyebutkan bahwa meski nilai aset mencapai Rp19,12 triliun, termasuk aset tetap Rp16,14 triliun, namun belum dimanfaatkan secara maksimal. Banyak aset fisik seperti bangunan, kendaraan, dan lahan yang tidak memberikan kontribusi terhadap layanan publik atau pendapatan.
Di sisi lain, kewajiban daerah sebesar Rp1,44 triliun yang mayoritas dalam bentuk utang belanja dinilai sebagai tekanan fiskal yang harus dikelola dengan strategi pengendalian dan reformasi belanja.
Sebagai penutup, Fraksi Golkar mendorong dilakukannya reformasi fiskal yang lebih mendalam. Beberapa langkah yang direkomendasikan antara lain adalah penyusunan perencanaan anggaran berbasis data empiris, peningkatan PAD melalui digitalisasi, realokasi belanja ke sektor produktif, serta penguatan kapasitas teknis SKPD.
“Akhirnya, Fraksi Partai Golkar berharap agar catatan kritis ini tidak dipandang sebagai oposisi terhadap pemerintah daerah, melainkan sebagai kontribusi konstruktif dalam membangun Kutai Timur yang mandiri secara fiskal, berdaulat dalam kebijakan, dan adil dalam pembangunan,” pungkas Kari Palimbong.