Logo
Pusaran Dewan Pers
Iklan
Banner ADV

Pupuk Bukan Sembako, HIPMI Nunukan Ingatkan Bahaya Akibat Menyamakan Barang Strategis dengan Bapok

Ketua Umum BPC HIPMI Nunukan Djiorezi Silawane (Foto: Diansyah/pusaranmedia.com)

BERITA TERKAIT

    Banner ADV

    Kalimantan Utara

    Pupuk Bukan Sembako, HIPMI Nunukan Ingatkan Bahaya Akibat Menyamakan Barang Strategis dengan Bapok

    PusaranMedia.com

    Ketua Umum BPC HIPMI Nunukan Djiorezi Silawane (Foto: Diansyah/pusaranmedia.com)

    Banner ADV

    Pupuk Bukan Sembako, HIPMI Nunukan Ingatkan Bahaya Akibat Menyamakan Barang Strategis dengan Bapok

    Ketua Umum BPC HIPMI Nunukan Djiorezi Silawane (Foto: Diansyah/pusaranmedia.com)

    Reporter: Diansyah | Editor: Buniyamin

    NUNUKAN — Badan Pengurus Cabang Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPC HIPMI) Nunukan menegaskan, menyamakan pupuk ilegal asal Malaysia dengan barang kebutuhan pokok (Bapok) seperti gula, tepung, minyak goreng dan LPG merupakan bentuk kesalahan konseptual yang dapat melemahkan sistem regulasi distribusi nasional.

    Ketua Umum BPC HIPMI Nunukan, Djiorezi Silawane menyampaikan, pernyataan tersebut sebagai respons atas munculnya narasi publik yang cenderung memaklumi peredaran pupuk ilegal di wilayah perbatasan dengan dalih sebagai bagian dari praktik historis perdagangan lintas batas.

    Menurut Djiorezi, pupuk tidak dapat dikategorikan sebagai barang konsumsi rumah tangga sebagaimana gula dan minyak goreng. Secara hukum, pupuk termasuk dalam kelompok sarana produksi pertanian yang pengaturannya berada di bawah kewenangan penuh Kementerian Pertanian Republik Indonesia.

    Ia menekankan, pemasukan pupuk dari luar negeri tunduk pada regulasi formal yang jauh lebih ketat dan kompleks, tidak bisa disamakan dengan barang konsumsi biasa.

    “Pupuk adalah barang strategis nasional. Regulasi terhadap pupuk bersifat sektoral dan bersumber langsung dari kebijakan produksi pertanian berkelanjutan. Menyamakannya dengan Bapok adalah bias logika kebijakan, serta berbahaya jika ditoleransi secara publik,” ujar Djiorezi.

    Djiorezi menambahkan, perbedaan antara pupuk dan Bapok terletak pada struktur regulasinya. Pupuk memerlukan izin edar resmi dari Kementerian Pertanian, harus melewati proses sertifikasi mutu dan karantina pertanian, serta hanya dapat disalurkan melalui sistem distribusi resmi seperti e-RDKK untuk pupuk bersubsidi maupun skema komersial untuk pupuk nonsubsidi.

    Sementara sejumlah barang kebutuhan pokok seperti gula, tepung, minyak goreng dan LPG memang telah diperbolehkan untuk masuk ke wilayah perbatasan melalui mekanisme Border Trade Agreement (BTA) antara Indonesia dan Malaysia.

    Perjanjian tersebut terakhir diperbarui pada 8 Juni 2023 dan merupakan hasil dari kerja sama bilateral dalam forum Sosial Ekonomi Malaysia–Indonesia (Sosek Malindo). 

    Daftar barang dalam BTA disusun berdasarkan kebutuhan pokok penduduk perbatasan dan bersifat terbatas.

    Namun, Djiorezi menegaskan dalam BTA terbaru, pupuk secara eksplisit tidak termasuk dalam daftar komoditas yang boleh diperdagangkan secara lintas batas.

    Ia menilai pupuk bukan sekadar barang dagangan, melainkan menyangkut aspek yang lebih luas seperti ketahanan pangan, kelestarian lingkungan dan keberlangsungan sistem pertanian nasional. 

    Untuk itu, menurutnya, pupuk tunduk sepenuhnya pada kebijakan domestik dan tidak dapat disamakan dengan komoditas konsumsi rumah tangga yang masuk dalam skema BTA.

    “BTA bukan pintu masuk untuk semua barang. Ia adalah mekanisme diplomatik yang dibatasi oleh daftar komoditas tertentu. Pupuk, oleh karena itu, tunduk pada jalur kebijakan dalam negeri, bukan pada mekanisme lintas batas,” ungkapnya.

    HIPMI Nunukan juga menyoroti dampak hukum dari masuknya pupuk Malaysia secara ilegal ke wilayah Indonesia, khususnya Kabupaten Nunukan. 

    Praktik tersebut dianggap bertentangan dengan tiga kerangka hukum nasional, yakni Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan.

    Karena tidak termasuk dalam daftar barang yang mendapat toleransi dalam skema perdagangan lintas batas, maka pemasukan pupuk dari Malaysia tanpa izin resmi dinilai sebagai pelanggaran hukum positif yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana di bidang kepabeanan dan perdagangan ilegal.

    Djiorezi juga mengingatkan bahwa peredaran pupuk tanpa izin akan menciptakan distorsi harga di pasar pertanian, merugikan pelaku usaha resmi yang taat aturan dan menciptakan ketimpangan dalam rantai suplai pupuk nasional. 

    Selain itu, ini juga berisiko melemahkan kredibilitas sistem distribusi pupuk bersubsidi yang saat ini tengah dibangun oleh pemerintah.

    Menurutnya, toleransi terhadap praktik ilegal justru akan merugikan upaya penataan distribusi dan investasi yang sedang dilakukan oleh pelaku usaha lokal di perbatasan. 

    Kata dia, jika distribusi pupuk nasional masih menghadapi kendala, maka solusinya bukanlah membiarkan jalur ilegal berkembang, melainkan memperbaiki sistem yang ada.

    Sebagai bentuk solusi, HIPMI Nunukan mengusulkan penguatan Koperasi Merah Putih sebagai simpul distribusi legal pupuk dan sarana produksi pertanian di wilayah perbatasan. 

    Selain itu, sistem e-RDKK juga perlu dievaluasi dan diintegrasikan dengan data real-time agar petani tidak merasa tertinggal atau tidak terlayani dalam program subsidi. 

    HIPMI juga mendorong pembentukan Satuan Tugas Pengawasan Distribusi Sarana Produksi lintas instansi untuk memastikan jalur distribusi tidak disabotase oleh praktik-praktik ilegal.

    “Kita tidak bisa lagi menoleransi logika darurat untuk membenarkan pelanggaran struktural. Pupuk bukan soal dispensasi, tapi soal pengelolaan produksi nasional. Apabila distribusinya lemah, maka perbaikilah sistem, bukan membiarkan jalur ilegal menjadi norma,” pungkasnya.