Logo
Pusaran Dewan Pers
Iklan

Kerajaan Kutai Martapura: Monarki Pertama, Tertua, dan Terlama di Nusantara 

Muhammad Sarip dalam webinar menjelaskan sejarah Kerajaan Martapura dan Kerajaan Kutai Kartanegara (Foto: Lodya/Pusaranmedia.com)

BERITA TERKAIT

    Kalimantan Timur

    Kerajaan Kutai Martapura: Monarki Pertama, Tertua, dan Terlama di Nusantara 

    PusaranMedia.com

    Muhammad Sarip dalam webinar menjelaskan sejarah Kerajaan Martapura dan Kerajaan Kutai Kartanegara (Foto: Lodya/Pusaranmedia.com)

    Kerajaan Kutai Martapura: Monarki Pertama, Tertua, dan Terlama di Nusantara 

    Muhammad Sarip dalam webinar menjelaskan sejarah Kerajaan Martapura dan Kerajaan Kutai Kartanegara (Foto: Lodya/Pusaranmedia.com)

    Reporter: Lodya Astagina | Editor: Supiansyah 

    TENGGARONG - Penulis Buku Kerajaan Martapura dalam Literasi Sejarah Kutai Kartanegara 400-1635, Muhammad Sarip hari ini Sabtu (31/7/2021) membedah buku miliknya. Pembedahan buku itu dilakukan melalui webinar sejarah nasional untuk meninjau kembali sejarah Kerajaan (Kutai) Martapura monarki pertama, tertua, dan terlama di Nusantara. 

    Webinar ini dilaksanakan oleh Aliansi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) dan Gerakan Literasi Kutai (GLK). Sang penulis mengungkapkan fakta-fakta yang ditemukannya selama proses penelitian karya tulis buku sejarah itu. Salah satu rujukannya dalam menulis adalah kitab surat salasilah raja dalam negeri Kutai Kartanegara. Buku itu selesai ditulis oleh Khatib Muhammad Thahir pada 30 Rabiul Awal 1265 Hijriah, tepatnya 24 Februari 1849. Sarip menganggap, kitab salasilah kutai itu tidak berada di perpustakaan di Nusantara, kitab itu hanya dapat ditemukan di perpustakaan Negeri Berlin yang ada di Jerman. 

    Selain itu SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) RI Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 279/M/2014 tentang Tujuh Prasasti Yupa Koleksi Museum Nasional sebagai Kawasan Cagar Budaya Peringkat Nasional menyebutkan, dinasti Aswawarman putra Kundungga adalah yang tertua di Nusantara. Bukan kerajaan Kutai seperti yang diklaim saat ini, hal ini juga berdasarkan dengan konsensus negara yang menetapkan Mulawarman sebagai dinasti tertua. 

    Ia menerangkan, belum ada kerajaan yang lebih tua dari pada Mulawarman pada buku sejarah Indonesia. Nama Kutai tidak pernah ditemukan dalam tujuh prasasti yupa. Sejarawan dan ilmuwan sastra Melayu, Constantinus Alting Mees, lebih dulu menegaskan perihal nama Kutai yang bukan kepunyaan Dinasti Mulawarman. Sarip menjelaskan, dalam disertasi Mees menyatakan, koloni Hindu di Muara Kaman tidak pernah dinamakan Kutai. 

    Kutai baru dikenal sejak Aji Batara Agung Dewa Sakti mendirikan kerajaan di Muara Sungai Mahakam pada penghujung abad ke-13. Asal-usul Kutai dimuat dalam kitab Salasilah Kutai lembar ke-41 yang menyebutkan, nama Kutai muncul dari hasil berburu Aji Batara Agung Dewa Sakti, yang pada saat itu menggunakan sumpit. Ia berburu untuk memenuhi keinginan istrinya yang sedang mengidam karena tengah mengandung. 

    Dari buruan itu, dirinya tak mendapatkan hasil apa-apa, selain seekor tupai yang jatuh dari pohon petai, yang lokasinya ada di pantai dan ditumbuhi kumpai serta rumput ilalang. Dari situlah akhirnya nama Kutai dicetuskan, gabungan dari kata tupai, petak, pantai dan kumpai. Hal ini diperkuat oleh buku karya ilmuwan asal Belanda, yaitu Solco Walle Tromp. “Adapun cerita lain yang menyebut asal usulnya dari kata kutaire atau dari bahasa Cina khotai begitu, sampai sekarang saya mencari sumbernya tidak ketemu,” jelasnya. 

    Banyak buku-buku yang sulit untuk diberifikasi kejelasan serta kebenaran asal-muasal kerajaan ini. Seperti buku dari Kementerian Penerangan tahun 1853 yang tidak memiliki catatan kaki maupun daftar pustaka. 

    Dalam kitab Salasilah Kutai, nama Martapura bersanding dengan nama Pangeran Sinum Panji Mendapa. Diperkuat dengan keberadaan bukit di Muara Kaman yang bernama Martapura, dan juta stempel Sultan Kutai. “Saya temukan salinannya tahun 99, stempelnya jelas menuliskan Martapura,” sebutnya. 

    Terdapat perbedaan yang pasti pada dua kerajaan itu, Kerajaan Martapura berdiri sejak 400 Masehi, kemudian runtuh pada 1635 Masehi. Lalu, Kutai Kartanegara berdiri pada 1300 Masehi dan runtuh pada tahun 1960. Sekitar 60 peserta dalam post test pendaftaran webinar menjawab, kerajaan Martapura runtuh karena ditaklukkan kerajaan lain. Tepatnya oleh kerajaan Kutai Kartanegara melalui agresi militer. Kutai Kartanegara menurut UU 27 Tahun 1959 dihapuskan, dan pada 2011 dihidupkan lagi sebagai pemangku adat dan budaya, bukan lagi otoritas politik. 

    Dari dua kerajaan itu, eksistensi Kerajaan Martapura berlangsung lebih lama, yakni 12 abad. Bahkan, dari aspek ibu kota pun berbeda. Ibu kota Martapura berlokasi di Kecamatan Muara Kaman, dan ibu kota Kutai Kartanegara tak menetap atau berpindah-pindah. Berawal dari ibu kota yang ada di Jahitan Layar dan kini dikenal dengan Kutai Lama yang ada di Kecamatan Anggana. Kemudian pindah lagi ke Desa Jembayan, Kecamatan Loa Kulu, dan terakhir di Tenggarong. 

    Sarip menyampaikan, pendirinya pun berbeda. Kerajaan Martapuran didirikan oleh Aswawarman dan Kutai Kartanegara oleh Aji Batara Agung Dewa Sakti. Dari segi agama yang dianut juga berbeda, Martapura menganut agama Hindu dengan corak India bukan corak Jawa. Sedangkan Kutai Kartanegara, agam Hindu yang dianut telah memiliki corak lokal. “Misal upacara kematian, penyelenggaraan jenazah yang India dikremasi, kalau corak lokal jenazah atau tulang masih ada tidak dibakar,” ucapnya. 

    Pada tahun 1575, Kutai Kartanegara berubah menjadi kerajaan Islam, dan Martapura tetap memganut agama Hindu sampai pada masa keruntuhannya. Penulis mengatakan, para raja dan keluarga istana ingin mendokumentasikan hubungan kerajaan mereka dengan kerajaan lain. Untuk menguatkan identitas para bangsawan, sehingga diperlukan adanya cerita-cerita mitos yang dituliskan dalam sebuah sastra. 

    Dirinya mengingatkan agar peserta webinar tidak terkecoh, karena memang ada beberapa buku yang berjudul salasilah kutai dengan tampilan sampul yang berbeda. Ada yang mendalilkan, susunan raja Mulawarman dari Kundungga sampai sekitar 25 raja dari salasilah kutai yang latin, padahal di Arah Melayu tidak ada daftar susunan seperti itu. “Sayangnya berbagai kalangan terkecoh, dijadikan sumber penelitian sejarah,” imbuhnya. 

    Sebelum buku ini terbit, penulis meminta bantuan Dosen Ilmu Sejarah FIB Universitas Indonesia Ita Syamtasiyah Ahyar untuk memeriksa naskahnya dan berkenan memberikan kata pengantar untuk buku ini. Ia menambahkan, buku ini adalah buku pelengkap dari buku pertama Jahitan Layar sampai Tepian Pandan Sejarah 7 Abad Kerajaan Kutai Kartanegara. “Jadi saya lebih dulu menulis buku kerajaan Kutai Kartanegara yang terbit pada tahun 2018 baru kemudian kerajaan Martapura di tahun 2021,” tutup Sarip.