Reporter: Abdi | Editor: Buniyamin.
BONTANG - Langit yang cerah seketika menjadi mendung dan diiringi butiran hujan yang cukup deras, Minggu (26/9/2021). Niat untuk menuju Dusun Temputu, Desa Martadinata, Kecamatan Teluk Pandan, Kutai Timur atau yang lebih dikenal dengan Kampung Teluk Dalam pun harus diurungkan sejenak.
Untuk menuju Kampung Teluk Dalam dibutuhkan waktu sekira 40 menit perjalanan melalui laut. Dan merupakan akses satu-satunya untuk menuju pemukiman yang berlokasi di kawasan pasang surut.
Bertolak dari pelabuhan Kampung Mandar, Kelurahan Lok Tuan, Kota Bontang sekira pukul 10:20 WITA, empat jurnalis Bontang menggunakan kapal klotok dengan panjang 12 meter dengan lebar 1,5 meter.
Dalam perjalanan, mendekati Kampung Teluk Dalam tiba-tiba laju klotok dikurangi oleh Arfin sang motoris. Sebab, kondisi air laut tengah surut ketika menjelang tengah hari, sehingga klotok rawan kandas apabila kecepatannya tidak dikurangi. Belum lagi banyak jaring ikan nelayan sekitar yang banyak terpasang.
Dasar laut yang ditumbuhi tumbuhan khas air asin yang berada tidak jauh dari pemukiman Kampung Teluk Dalam pun terlihat jelas dari atas klotok.
Setelah 40 menit perjalan, akhirnya empat jurnalis asal Bontang, salah satunya adalah jurnalis pusaranmedia.com, pun tiba di pemukiman atas air tersebut. Tepat pukul 11:00 WITA dan disambut hangat oleh warga di sana.
Kampung Teluk Dalam sendiri, tepat berada di bagian Utara Pulau Gusung , Kelurahan Guntung, Bontang Utara. Hanya ada sembilan bangunan rumah di pemukiman itu.
Ketua RT 20, Dusun Temputu, Amir mengisahkan, awal mulai ia menetap di Kampung Teluk Dalam, saat itu hanya satu rumah yang dihuni Yusran Dufa atau dikenal dengan Haji Iyes. Sementara, belum ada rumah lain saat itu, hanya ada tiang-tiang rumah saja. Seiring waktu warga di pemukiman itu pun bertambah.
Kala itu, di tahun 1973 ia meninggalkan kampung kelahirannya Mamuju, Sulawesi Barat. Kali pertama Amir menginjakkan kaki di Pulau Kalimantan Timur (Kaltim), ia langsung menetap di Pulau Gusung.
Kemudian, setelah puluhan tahun tinggal di Pulau Gusung, ia pun memilih pindah, dan menetap di Kampung Teluk Dalam. Dengan harapan bisa mengubah kondisi ekonomi ia dan keluarga. Tapi Amir tidak ingat persis berapa waktu yang ia habiskan di Pulau Gusung. Serta sejak tahun berapa awal ia bermukim di kampung atas air itu.
"Sudah lupa saya tahunnya, yang saya ingat tinggalkan Mamuju itu tahun 1973. Menetap di Gusung pertama kali injak Kalimantan (Kaltim), baru saya pindah ke sini, niat mau ubah nasib ekonomi makanya pilih agak jauh tapi ya seperti inilah sekarang. Rata-rata warga sini juga pindahan dari Gusung," kisahnya.
Minimnya penerangan dan sumber air bersih bukan hal baru bagi warga di sana, dan sudah terjadi hingga puluhan tahun. Sudah tiga periode Amir menjabat sebagai Ketua RT 20, Dusun Temputu. Berbagai usulan dan usaha telah dilakukan untuk bisa mendapatkan sumber air bersih dan penerangan yang layak. Tapi sampai saat ini usaha itu nihil.
"Sudah sering saya usulkan ke mana-mana, tapi ya liat bagaimana keadaan kami sekarang," tutur Amir.
Hembusan angin kencang pun menemani obrolan ringan bersama Amir. Namun kencangannya angin yang ada saat ini belum ada seberapa bagi ketua RT tersebut.
"Belum (kencang) ini angin nya. Kalau rumah sudah goyang baru kencang namanya," ucapnya sambil tertawa.
Amir didapuk sebagai Ketua RT 20 Dusun Temputu sejak 2007 silam. Atau tepatnya sudah 14 tahun ia menjabat. Tapi masalah yang dirasakan warga Kampung Teluk Dalam tetap sama, yakni minimnya penerangan dan air bersih.
Warga yang ia naungi ada sebanyak 11 Kepala Keluarga (KK) dengan sekira 30 jiwa.
Keseharian warga di sana beprofesi sebagai nelayan. Seperti mencari ikan, kerang atau tuday dan tripang. Hasil tangkapan pun dijual ke Tanjung Limau, Tanjung Laut dan Guntung (Kota Bontang).
Sementara, untuk mendapatkan air bersih, warga harus menempuh perjalanan jalur air selama 15 menit ke Kelurahan Guntung, Bontang Utara, Kota Bontang. Warga di sana menggunakan jeriken dengan ukuran 25-30 liter. Yang dibeli dengan harga Rp1.000 per jerikennya. Dalam sekali perjalanan ke Guntung dan kembali ke rumah, warga Teluk Dalam harus menghabiskan dua liter bahan bakar.
Air itulah yang digunakan warga untuk mencuci baju, minum, memasak dan mandi. Ketika hendak mandi, warga di sana lebih dulu mandi menggunakan air laut, setelah menggunakan sabun dibilasan terakhir barulah mereka menggunakan air bersih.
"Kalau perahu saya cuma muat 17 jeriken saja yang 30 liter. Paling cukup dua buat hari saja. Kalau mandi pakai air laut, lengket semua badan rasanya. Pernah juga coba cuci baju pakai air laut, tidak mau keluar busa dari sabun ," sebutnya sambil tertawa.
Sapri, salah seorang warga RT 20, Dusun Temputu menyampaikan, selain memiliki budi daya ikan, kesehariannya juga mencari tuday. Tetapi, hasil tangkapannya tidak pernah lagi sebanyak dulu. Dulu dalam satu hari ia bisa mengumpulkan hingga 10 kilogram kerang.
Namun, sekarang untuk mengumpulkan empat kilogram tuday saja sangat sulit bagi Sapri dan rekannya yang lain. Sebab, sudah banyak orang yang berprofesi sebagai pencari kerang.
Predator air pun sering terlihat lalu lalang di bawah rumah warga. Dengan berbagai ukuran, dari kecil, sedang hingga yang besar. Tapi ia bersyukur selama ini belum pernah ada kejadian warga di pemukiman itu diterkam oleh buaya.
"Susah sekarang karena banyak yang cari tuday juga. Kayak dari Gusung dan lainnya. Satu kilo sekarang Rp35 ribu kalau dijual ke pengepul. Kalau buaya mau setiap hari lewat. Alhamdulillah tidak pernah ganggu, dan semoga jangan sampai terjadi," katanya.
Kampung Teluk Dalam dikeliling pohong bakau, baik pada bagian Utara, Barat dan Selatan. Untuk mencari tuday ayah dua anak tersebut hanya beraktivitas di sekitar rumahnya dan pulau terdekat dari Kampung Teluk Dalam.
Hanya mencari kerang yang dapat dilakukan Sapri sembari menunggu bibit ikan kakap bakau yang ia pelihara siap untuk dipanen. Setidaknya memerlukan waktu hingga tujuh bulan baru ikan budi daya Safri bisa dinikmati hasilnya.