Reporter: Lodya Astagina | Editor: Supiansyah
TENGGARONG - Bahasa Kutai berangsur menuju kepunahan. Beberapa kosa kata mulai jarang diucapkan dan banyak di antaranya yang berubah menyerupai bahasa kaum pendatang.
Pengamat budaya, Awang Rifani bahkan mengatakan beberapa sub bahasa Kutai sudah ada yang punah. “Satu persatu bahasa Kutai itu akan dilupakan, ketika penuturnya itu tidak ada, maka pelan-pelan itu akan punah,” ucap Awang, Selasa (8/12/2020).
Menurutnya, orang Kutai sendiri tidak bisa membedakan mana bahasa Kutai dan bahasa pendatang, seperti Banjar. Karena dua bahasa ini hampir sama, satu rumpun, dan berada di pulau yang sama. Contoh kecilnya adalah, orang Kutai lebih suka menggunakan bahasa Banjar dengan menyebut "bubuhan". Padahal seharusnya “keroan”. “Bubuhan itu kan bahasa Banjar,” imbuhnya.
Bahasa Kutai terdiri dari beberapa puak. Awang menyebut ada sekitar 14 yang telah ia identifikasi di wilayah Kukar. Belum lagi yang ada di kabupaten lain, seperti Kutai Timur.
Ada beberapa yang populer, yakni melanti, kedang, lampong, dan pantun. Empat puak ini bahasanya kerap digunakan. “Ada beberapa juga yang sudah tidak dikenal, seperti bahasa talun, tuanak,” ujarnya.
Untuk kawasan kota seperti Tenggarong diperkirakan akan menjadi salah satu wilayah dengan tingkat kepunahan yang tinggi. Hal ini dikarenakan kawasan perkotaan, bahasa sudah sangat bercampur. Berbeda dengan wilayah hulu, bahasa-bahasa Kutai tersebut masih digunakan dan dilestarikan warga setempat, karena masih murni dan belum tercampur dengan bahasa lain.
Ia menjelaskan, generasi muda saat ini kesulitan membedakan bahasa. Dalam bahasa Kutai untuk arti bersatu seharusnya menggunakan kata “rekat” bukan “rakat.” Karena dalam bahasa Kutai, rakat artinya akar. “Tetapi rakat lebih populer, bahasa Kutai pakai e, kalau banjar pakai a,” ucapnya.
Oleh karena itu, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kukar sedang memproses raperda muatan lokal bahasa Kutai yang akan diimplementasikan di sekolah-sekolah. “Mudah-mudahan nanti setelah diberlakukannya perda, sekolah-sekolah akan menerapkan muatan lokal bahasa Kutai,” katanya.
Dulunya, ia mengaku, muatan lokal bahasa Kutai telah ada, namun sudah lama pelajaran itu tidak diterapkan lagi. “Kita rancang ulang, segala hal yang menyangkut itu. Jadi tidak mesti bicara kata, ada sejarah, kebudayaan, kulinernya juga,” pungkasnya.
Di pulau Jawa khususnya, telah lama menerapkan sistem ini. Mereka bahkan tidak hanya mempelajari bahasa, tetapi mereka juga tulisan aksara Jawa.