Oleh: Anas Abdul Kadir
YANG lalu biarlah berlalu: Judul lagunya Bunga Citra Lestari. Saya kurang paham makna lirik lagunya. Namun sedikit mengambil filosofi judul. Ada sudut pandang berbeda dari judul itu. Bagaimana tidak, Aldous Huxley pernah bilang: Manusia tidak belajar banyak dari pelajaran sejarah. Terpenting dari semua pelajaran itu sejarah.
Paling teringat sewaktu kuliah, para senior di kampus punya filosofi sendiri. Utamanya mereka yang hidup di dunia gerakan. "Jas Merah", kutipan tokoh pendiri bangsa Soekarno. "Jangan sekali-kali lupa sejarah". Bisa dikatakan sejarah merupakan serangkaian peristiwa yang bisa saja terulang. Tapi tidak sama persis kejadiannya.
Ulik-ulik sejarah semakin banyak muter-muter. Jadi tak fokus apa yang mau dibicarakan. Saya sudah mulai masuk ke pembahasan apa. Kata sejarah identik dengan "dulu". Kalau film kartun modern, cukup terkenal judulnya: Pada Zaman Dahulu. Dengan serial pertamanya, Sang Kancil & Kerbau yang rilis pertama pada 03 Desember 2011 silam. Filmnya cukup melejit. Bahkan tanpa sadar kita terbawa intonasi suara dari kakeknya Aris dan Rara saat akan mendongeng dengan keduanya.
Nah, melanjutkan cerita "dulu". Teringat sewaktu Sekolah Dasar. Kalau grader dan dozer datang ke desa, kawan-kawan se-zaman sekolah dulu beramai-ramai ke tepi jalan. Hanya sekedar nonton grader atau dozer baikin jalan desa. Sekarang sebutannya "ndeso".
Kalau tidak salah ingat tahun 1996 hingga 2000-an awal. Jalan di desa saya belum sebaik sekarang. Nemu batu di jalan saja sulit. Bisa dipastikan kalau hujan datang, lumpur tak karuan. Paling senang kalau pulang sekolah hujan pun datang.
"Kesempatan, mumpung hujan main di parit buat prosotan," kata ku waktu dulu.
Meskipun sampai di rumah dapat ribuan omelan. Hehehe, jadi teringat bahagianya semasa kecil dulu. Cerita jalan, akhir-akhir banyak yang mengeluh masalah itu. Ngeluhnya tak tanggung-tanggung. Hampir setiap hari muncul di jagad medsos. Syukurnya saya termasuk orang yang beruntung. Jalan ke kampung saya lebih baik di banding sewaktu SD dulu.
Tapi, tidak semua tempat yang dulu pernah saya lalui ada perubahan signifikan. Bahkan ada yang semakin sulit dilalui. Semisal, jalan kebun area plasma kebun sawit di kampungku dulu lebih baik dibandingkan sekarang. Sejak perusahaan tambang masuk di lokasi itu. Petani mengeluh, jalan produksi babak belur, wajar saja. Itu manusiawi. Tapi apakah itu salah saya tidak bisa menyimpulkan. Bagi saya setiap apapun yang telah disetujui dan dikerjakan ada sebab dan akibat. Kabarnya sudah ada pembenahan di situ. Kalaupun belum semoga disegerakan.
Kasus yang sama, juga di alami warga yang berada di daerah pelosok. Kata mereka, "Sejak kabupaten ini ada baru beberapa kali tersentuh pembenahan jalan," kata warga di salah satu desa daerah selatan Paser itu. Pun itu dikatakan mereka saat saya ke sana beberapa bulan lalu bersama teman-teman.
Waktu saya ke sana, jalan sedang masa pemulihan menunggu kucuran dana tambahan. Karena waktu itu hanya sementara, anggaran daerah tak cukup mencover semua. Tahun mendatang atau 2022 atau tinggal menghitung hari lagi baru mau dibaikin secara total oleh pemerintah daerah.
Meskipun, pucuk pimpinan kabupaten sudah bicara. Nyatanya, masyarakat tidak percaya begitu Atau bisa jadi mereka terbiasa dengan kalimat buaian semacam itu. Bahasa mereka "Sudah terlalu lama jalan kami berlumpur".
Pada November 2021 lalu, Dewan dan Pemkab Paser sudah sepakat bakal pinjam ke salah satu bank daerah untuk pembenahan jalan di desa-desa. Nilainya cukup fantastis Rp600 miliar. Meski begitu, pemkab tidak begitu saja bisa menarik uang segede itu. Ada beberapa mekanisme yang mereka lalui.
Paling tidak, dengan upaya itu ada sedikit pelipur lara. Mendekati ulang tahun ke-62 Kabupaten Paser masih banyak tugas berat buat pemerintah daerah. Terutama mengenai insfratruktur jalan desa. Akankah dapat terwujud di tahun mendatang. Kita tunggu saja. Wallahualam Bissawab. (*)