TENGGARONG - Kota Raja--julukan Tenggarong--menginjak usia ke 238 tahun. Tak banyak yang tahu mengenai histori di balik berdirinya pusat Pemerintahan Kabupaten Kutai Kutai Kartanegara itu.
Dalam acara haul jamak, Minggu (27/9/2020), Camat Tenggarong Arfan Boma menceritakan secara singkat berdirinya Kota Tenggarong yang berawal dari pemerintahan monarki berubah menjadi bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia seperti saat ini.
Selama kurang lebih tujuh abad eksisnya kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, pusat pemerintahan telah dua kali perpindahan. Perpindahan pertama, tahun 1734 masehi pada masa pemerintahan Sultan Aji Muhammad Idris (1732-1739 M). Pusat pemerintahan berpindah dari Kutai Lama ke Pamarangan yang sekarang masuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Loa Kulu.
Kemudian, pada masa pemerintahan Aji Imbut gelar dari Sultan Muhammad Muslihuddin (1780-1816 M) yang merupakan Raja Kutai Kartanegara Ing Martadipura XV, pusat pemerintahan kembali pindah dari Jembayan ke Tepian Pandan, yang sekarang lebih dikenal dengan nama Tenggarong hingga masa pemerintahan Sultan Aji Muhammad Parikesit.
Hal ini dikarenakan sejak pusat kerajaan di Kutai Lama hingga di Pemarangan sering terjadi gangguan keamanan dari pihak lanun dan perompak Solok serta Filipina.
“Karena adanya peristiwa yang dianggap membahayakan dan mencemaskan kehidupan rakyatnya, maka Pemarangan sebagai pusat kerajaan dianggap tidak bertuah lagi. Samarinda Seberang sebagai pintu gerbang dan benteng utama Kerajaan Kutai Kartanegara merasa khawatir akan keselamatan dan keamanan kerajaan,” jelasnya.
“Maka para tokoh dan pemuka adat suku Bugis yang diprakarsai oleh Puak Adok Latojeng, Daeng Penggawa Mangkubumi Dipato Prabangsa, dan Pangeran Masjurit bermusyawarah dan mufakat untuk mengusulkan kepada Aji Imbut agar pusat pemerintahan kerajaan dipindahkan dari Pemarangan ke tempat lain,” sambungnya.
Dengan adanya pertimbangan tersebut tidak lama kemudian Aji Imbut beserta abdi kerajaannya berangkat menyusuri sungai Mahakam, bertujuan mencari rantau atau tempat yang dapat dijadikan pusat pemerintahan kerajaan yang aman dan sejahtera.
“Sampailah di suatu rantauan Gersik yang terletak di antara Teluk Dalam dan sungai sebelah hulunya dan tepat berseberangan dengan sungai rantauan Tepian Pandan,” ujarnya.
Kurang lebih 40 hari, Aji Imbut dan kelompok abdi kerajaannya bermalam di Gersik untuk mencari nyahu atau petunjuk yang baik. Hingga di suatu malam yang penuh berkah, turunlah petunjuk dari yang maha kuasa melalui mimpi kepada sang raja agar mencari sebuah daerah dengan syarat carilah daerah atau rantauan yang berbau harum dan dihadapannya ada dua ekor naga yang sedang merebutkan sebuah kemala.
Pada keesokan harinya, Aji Imbut menyampaikan mimpi itu kepada para pengikutnya untuk menafsirkan arti dan makna dari mimpinya semalam.
Tidak jauh, di seberang tempat mereka bermalam ditemukan suatu rantauan yang terdapat hamparan gunung berbatu yang menjulang ke barat dan ke arah selatan adanya dataran luas diselingi oleh pohon-pohon pandan yang sedang berbunga.
“Jadi, di tengah dataran yang luas itu mengalir lah sebuah anak sungai yang berkelok-kelok dan bermuara ke sungai Mahakam dan tepat di hadapannya terdapat sebuah pulau yang membagi dua sungai Mahakam,” tuturnya.
Tepian Pandan yang asal namanya oleh masyarakat melayu yang mendiami daerah rantauan ini yang menyebut mereka suku Lampong dan Kedang, dengan kepala sukunya bergelar Sri Mangku Jagat, Sri Setia Demong, Demang, dan Jaya.
Aji Imbut dan kerabat kerajaan beserta Kepala Suku Lampong dan Kedang akhirnya melakukan musyawarah untuk menyimpulkan makna mimpinya semalam.
“Setelah ditafsirkan rantauan yang berbau harum adalah Tepian Pandan, karena harum bunganya dan dua ekor naga yang merebutkan kemala adalah dua anak sungai yang muaranya saling berhadapan dan di tengahnya terdapat sebuah pulau,” pungkasnya.
Di tempat inilah nantinya kerjaan Kutai Kartanegara akan mencapai puncak kejayaannya dengan segala kemakmuran rakyatnya.
Boma melanjutkan, Tepian Pandan asal namanya yakni Tangga Aron yang merupakan sebuah pondok suku Lampong bernama Aron, tangganya masuk ke sungai sehingga oleh Aji Imbut dikatakannya Tangga Aron.
Oleh pengikut raja yang berasal dari orang-orang Bugis mengatakannya Tangga Arong, sehingga akhirnya menjadi disebut Tenggarong.
Reporter: Lodya Astagina
Editor: Supiansyah