"Orang-orang, mestinya punya rumah di Tenggarong. Karena Tenggarong, kota yang nyaman untuk ditinggali,"
Ungkapan itu, terlontar dari Nala Arung. Seorang pelakon teater, musisi serta budayawan cum seniman asal Kota Tenggarong, Kutai Kartanegara ketika ditanya pendapatnya tentang kota kelahirannya ini.
Ucapan Nala, barangkali mewakili gambaran sebenarnya dari wujud asli Ibu Kota Kabupaten Kutai Kartanegara ini.
Menyandang juluk 'Kota Raja', agaknya juga membuat kota berpenduduk 114 ribu jiwa merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) 2015 ini, menjadi sebenar rumah yang nyaman.
Seperti kata Nala, kota di pinggir Sungai Mahakam dengan luas 398,10 kilometer persegi ini, punya suasana yang teduh. Ada semacam daya magis, yang membawa siapapun yang datang ke kota ini, merasa nyaman dengan sambutan hangat, tidak hanya dari para penduduknya. Tapi juga, alamnya.
"Tanah ini (Tenggarong) punya sejarah panjang. Jadi siapapun yang menginjakkan kaki di sini, akan merasakan sensasi khas," kata Nala dengan wajah sentimentil.
Demikian halnya Nala, dari seberang tanah Tenggarong, sejarawan dan penulis buku sejarah yang juga Pengurus Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Kalimantan Timur (Kaltim) Muhammad Sarip, menyarikan beberapa catatan penting tentang sejarah dan muasal Kota Tenggarong.
Seperti yang mafhum di kalangan masyarakat, bahwa Kota Tenggarong mulanya, merupakan ibu kota dari sebuah kerajaan bernama Kutai Kartanegara. Sebelum akhirnya memusatkan kegiatan pemerintahan di Tenggarong, Kerajaan Kutai Kertanegara awalnya beribu kota di Jaitan Layar dan Tepian Batu, yang kini disebut Desa Kutai Lama. Kedudukan di Kutai Lama berlangsung selama lebih dari 4 abad, terhitung sejak berdirinya Dinasti Aji Batara Agung Dewa Sakti tahun 1300.
Pada tahun 1732, Pangeran Anum Panji Mendapa Ing Martapura memindahkan ibu kota Kerajaan Kutai Kertanegara ke Pemarangan-Jembayan. Pada tahun itu juga. putra mahkota, yakni Aji Muhammad Idris, naik takhta dan gelar raja diganti sultan.
"Lima puluh tahun setelah beristana di Pemarangan-Jembayan, putra Sultan Aji Muhammad Idris, yaitu Aji Imbut, memindahkan ibu kota Kesultanan Kutai Kertanegara ke wilayah hulu dari Jembayan. Nama kampungnya adalah Tepian Pandan yang dihuni oleh Suku Kedang-Lampong" jelas Sarip, sapaan karib Muhammad Sarip kepada Korankaltim.com, Minggu (27/9/2029).
"Peristiwa perpindahan ibu kota dari Jembayan ke Tenggarong ini, lanjut Sarip ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai, terjadi pada tanggal 28 September 1782," imbuhnya.
Peristiwa itulah, kemudian yang menandai hari lahir Kota Tenggarong, yang hari ini diperingati pada usia 238 tahun.
Naskah asli Salasilah Kutai yang ditulis tahun 1849, kata Sarip tidak mengungkap alasan pemindahan tersebut. Namun, terdapat alasan yang masyhur dari folklor (cerita rakyat) bahwa Jembayan dianggap tidak bertuah lagi, sehingga perlu mencari lokasi yang baru untuk istana sultan.
Aji Imbut yang bergelar Sultan Muhammad Muslihuddin berperahu dari Jembayan ke arah hulu. Ia singgah di suatu kampung yang beraroma wangi. Rupanya, wangi itu berkat tanaman pandan yang banyak tumbuh di lokasi tersebut. Sesuai biotik khasnya, kampung itu bernama Tepian Pandan. Penghuninya adalah suku Kedang-Lampong yang dikepalai oleh Sri Mangku Jagat dan Sri Setia. Sultan memutuskan mendirikan istana baru di Tepian Pandan.
Beberapa waktu kemudian, nama Tepian Pandan berubah menjadi Tenggarong. "Sedikitnya, ada tiga versi mengenai asal usul penamaan Tenggarong," kata Sarip.
Versi pertama, menurut folklor, hal ini bermula dari kebiasaan orang Bugis yang menyebutkan “tangga arung” untuk menunjukkan kekesalan terhadap prajurit istana yang melarang mereka memakai tangga sultan di tepian menuju Sungai Mahakam. Arung dalam bahasa Bugis berarti raja. Lama-kelamaan umpatan “tangga arung” berubah fonem pada huruf vokalnya menjadi “tengga-rong”.
Versi kedua, nama Tenggarong berkaitan dengan tumbuhan tegaron. Dihikayatkan bahwa kampung itu banyak ditumbuhi pohon tegaron. Lantas, orang-orang Bugis yang membantu Aji Imbut dalam pemindahan pusat Kerajaan Kutai Kertanegara ketika melafalkan akhiran n berubah menjadi ng dan antara suku kata te dan ga disisipkan fonem ng, sehingga kata tegaron berubah menjadi Tenggarong.
Versi ketiga tentang asal usul nama Tenggarong adalah ungkapan Tangga Busu Haron. Ketika Aji Imbut tiba di Tepian Pandan, ia menatap ke arah hilir lalu melihat ada sebuah rumah yang tangganya masuk ke dalam sungai. Orang Kutai Lampong setempat menjelaskan bahwa rumah itu adalah milik seorang warga bernama Busu Haron, yang biasa dipanggil Aron. Sultan berdiskusi dengan menteri kerajaan dan akhirnya memutuskan memberi nama sungai kecil di lokasi itu dengan sebutan Tangga Aron. Alasannya, di sungai tersebut terdapat tangga yang langsung berasal dari rumah Busu Haron alias Aron. Dari frasa Tangga Aron itulah lama-kelamaan berubah menjadi Tangga Arong dan selanjutnya mengalami reduksi jenis sinkop (pengurangan fonem di tengah kata) sehingga menjadi Tenggarong.
Dari catatan yang dimilikinya, Sarip menemukan bahwab pada periode pemerintahan Bupati Kutai Ahmad Dahlan (1965–1979), muncul gagasan pengembalian nama Tenggarong ke nama asalnya, yakni Tepian Pandan.
"Alasannya, pengembalian nama tersebut akan dapat menghayati kembali sikap yang dinamis dan kreatif dari Sri Mangku Jagat dan Sri Setia beserta anak buahnya suku Kedang Lampong," beber Sarip.
Sikap kreatif dimaksud itu, diantaranya partisipasi yang diberikan oleh kedua kepala suku itu beserta anak buahnya dalam usaha mencari Tepian Pandan sebagai tempat kedudukan raja. Namun, upaya tersebut tampaknya tidak berhasil sebagaimana realita kini, nama ibu kota Kabupaten Kutai (Kartanegara) tetaplah Tenggarong.[]
Tulisan ini adalah kolaborasi, Korankaltim.com dan Pusaranmedia.com.
Naskah dilengkapi oleh :
1. Permata S Rahayu
2. Lodya Astagina
Editor : Rusdianto