Reporter: Diansyah | Editor: Bambang Irawan
NUNUKAN – Persoalan lahan di Kabupaten Nunukan, terutama di daratan Kabudaya seakan tak pernah rampung. Selalu saja, menimbulkan masalah di kemudian hari. Baik itu, antara masyarakat dan pemerintah, maupun antara masyarakat dengan perusahaan.
Hal inilah yang menjadi kekhawatiran masyarakat lima desa di Kecamatan Sebuku yakni, Desa Tetaban, Desa Melasu Baru, Desa Bebanas, Desa Lulu dan Desa Sujau. Kelima desa yang memiliki ribuan jiwa itu ternyata sebagaian besar lahan masyarakat masuk atau berada dalam status Hak Guna Usaha (HGU) sejumlah perusahaan di kawasan tersebut.
Juru bicara masyarakat di lima desa, Jonni kepada awak media mengatakan, dengan kondisi ini membuat masyarakat di lima desa ini selalu dihantui kekhawatiran jika suatu saat nanti lahan atau tempat tinggal mereka dikuasai perusahaan.
"Kami selalu merasa akan ada ancaman terusir dari desa kami sendiri yang sudah kami tempati turun temurun sejak zaman nenek moyang kami," ujar Jonni.
Jonni mengaku, telah berulang kali menyuarakan kegelisahan mereka baik kepada pemerintah maupun legislator.
Namun, hingga saat ini tidak ada solusi yang mereka terima maupun penjelasan. Padahal, seluruh fasilitas pemerintahan, baik kantor camat, Rumah Sakit Pratama, gedung sekolah, sampai makam leluhur dan rumah yang mereka tinggali, tak terkecuali masuk dalam areal HGU Perusahaan.
“Bayangkan saja, seluruh daerah kami sudah berada di atas HGU perusahaan. Perusahaan memancangkan tiang batas sebagai peringatan bahwa lahan di lima desa mereka, merupakan kawasan terlarang untuk diolah dan dipergunakan masyarakat sekitar,” ungkapnya kepada sejumlah wartawan.
Peta yang ada, hanyalah luasan areal HGU milik perusahaan. Ketika pihaknya tanyakan ke pemerintah soal luasan tanah milik desa, belum ada yang tahu pasti, karena memang semua masuk HGU dan dikuasai perusahaan.
“Jadi ada tiga perusahaan yang kini telah menguasai lahan desa kami, masing masing itu HGU perusahaan Kelapa Sawit PT Karang Joang Hijau Lestari, kemudian PT Bulungan Hijau Perkasa (BHP), dan masuk Hutan Tanaman Industri (HTI) milik PT Adindo Hutani Lestari,” tambah Jonni.
Menurut Jonni, kondisi tersebut membuat masyarakat setempat seakan dikebiri dan dihilangkan hak hidupnya. Hutan sebagai area berburu dan mencari penghidupan tak lagi bisa dimasuki, sumber pendapatan mereka sama sekali hilang.
“Banyak kendala yang kami hadapi karena persoalan HGU ini, misalnya seperti permohonan pengaspalan jalan. Itu tidak bisa dikabulkan, kalau seperti itu bagaimana kami mau hidup? Bagaimana anak cucu kami nanti? Alat berat menghantui tidur kami, kami selalu takut desa kami tiba-tiba digusur dan kami terusir dari tanah nenek moyang kami sendiri itu,” keluh Jonni.
Jonni mengaku, persoalan ini sudah pernah sampai di rapatkan bersama anggota DPRD Nunukan. Hasilnya, pansus pernah dibentuk untuk investigasi kasus pihaknya. Bahkan, Wamen ATR BPN pernah datang dan berjanji juga membentuk tim menyelesaikan permasalahan tersebut, namun nyatanya sampai saat ini itu belum terealisasi.
Kepala Desa Bebanas, Jamri mengaku, masyarakat adat tidak diberi lahan plasma oleh pihak perusahaan, sehingga mereka hanya menggarap lahan lahan beberapa meter yang berada jauh dari pemukiman dan tidak masuk HGU, demi bertahan hidup.
“Ya, saya pernah menanyakan lahan plasma kepada perusahaan PT BHP dan PT KHL, semua tidak jelas. Yang parah BHP, waktu ditanya di mana lahan plasma yang diberikan ke masyarakat, jawabannya malah lahan plasma sekedar formalitas. Padahal lahan plasma tentu di SK-kan oleh Bupati Nunukan,” tambahnya.
Untuk itu, baik Jonni dan Jamri hanya berharap kasus yang bergulir sejak sekitar 2018 ini bisa menjadi perhatian. Bahkan dalam hal ini, mereka ingin negara hadir untuk ikut bisa menyelesaikan permasalahan tersebut.
Mereka memastikan bukan anti dengan perusahaan, tapi yang mereka inginkan bagaimana keberadaan mereka bisa diakui, bisa bekerja sama dengan baik dan berkomunikasi dengan baik. Yang paling terpenting adalah, masyarakat sangat berharap lepas dari HGU yang masuk dalam permukiman.
Apalagi Jonni dan Jamri, hanya sekian kecil dari masyarakat adat di negeri ini yang terus berusaha mencari keadilan. Mereka mewakili warga lima desa untuk bersuara. Perjuangan mereka didampingi oleh LSM Green Of Borneo (GOB). Selama dua tahun belakangan, suara mereka terus diperdengarkan agar suatu saat menjadi perhatian.